TIMES PADANG, PADANG – Kasus keracunan makanan yang menimpa ribuan siswa penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus bertambah dari hari ke hari. Sejak awal tahun hingga September 2025, lebih dari 5.900 anak terdampak dalam 70 kejadian berbeda (KemenpanRB).
Di beberapa daerah, pemerintah daerah bahkan telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Program yang digagas untuk meningkatkan gizi anak justru berbalik arah, menimbulkan kekhawatiran tentang kualitas penyelenggaraan, keamanan pangan, dan masa depan program itu sendiri.
Banyak analisis sejauh ini menyoroti soal standar higienitas dapur, distribusi makanan, serta pengawasan pemerintah. Namun ada satu dimensi yang jarang disentuh. Keterkaitan kasus keracunan MBG dengan krisis iklim yang kian nyata.
Pangan adalah sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Curah hujan ekstrem, gelombang panas, maupun banjir besar dapat merusak produksi pangan.
Hasil panen menjadi lebih cepat rusak, nilai gizinya menurun, dan lebih mudah terkontaminasi mikroba berbahaya. Dalam situasi normal, tantangan ini sudah berat; apalagi dalam sistem distribusi massal seperti MBG, risiko itu semakin berlipat.
Ketika suhu rata-rata naik, bakteri patogen seperti E. coli, Salmonella, atau Staphylococcus aureus lebih cepat berkembang biak. Makanan yang tidak tersimpan dengan baik, atau menempuh rantai distribusi panjang tanpa pengawasan suhu yang ketat, dapat menjadi media sempurna bagi pertumbuhan bakteri. Artinya, di era iklim ekstrem, keamanan pangan tak lagi bisa dipisahkan dari krisis iklim.
MBG Sebagai Cermin Rantai Pasok yang Rapuh
MBG menuntut suplai makanan dalam jumlah besar, diproduksi harian, dan didistribusikan ke sekolah-sekolah di pelosok. Rantai pasok yang panjang ini membuka banyak celah kerentanan.
Bila produksi pertanian lokal terganggu karena anomali iklim, penyelenggara MBG mungkin beralih pada bahan dari luar daerah atau penyimpanan lebih lama, yang berisiko menurunkan kualitas pangan. Kasus keracunan massal MBG bisa dilihat sebagai refleksi rapuhnya sistem pangan kita.
Distribusi panjang, penyimpanan terbatas, higienitas tak konsisten, serta minimnya adaptasi terhadap iklim yang makin ekstrem. Krisis iklim memperbesar peluang kegagalan pada setiap mata rantai itu.
Tak bisa dipungkiri, program MBG lahir dari niat baik: memastikan setiap anak Indonesia memperoleh gizi seimbang. Tetapi, ketika desain program lebih menekankan pada kuantitas ketimbang kualitas, risiko seperti keracunan massal menjadi sulit dihindari.
Bisakah kita memastikan pangan gratis sekaligus berkelanjutan? Jawabannya mungkin iya, bila pemerintah serius menata ulang sistem MBG dengan mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dan adaptasi iklim.
Misalnya, dengan memperkuat suplai pangan lokal yang segar, memangkas rantai distribusi, serta memastikan dapur sekolah dilengkapi fasilitas penyimpanan dan sanitasi yang memadai.
Kearifan Lokal dan Resiliensi Pangan
Krisis iklim sekaligus memberi kita pelajaran tentang pentingnya kembali pada sumber pangan lokal. Di banyak daerah, tradisi pangan berbasis komunitas terbukti lebih tangguh: bahan segar langsung diambil dari kebun atau sawah sekitar, diolah dengan cara tradisional, dan dikonsumsi segera. Sistem seperti ini, bila dikembangkan dan diberi dukungan, bisa menjadi inspirasi bagi penguatan MBG agar lebih aman dan ramah iklim.
Menghubungkan MBG dengan kearifan lokal bukan soal nostalgia, melainkan strategi resiliensi. Dalam iklim yang kian tak menentu, justru produksi pangan dekat dan segar yang paling mampu menjamin keamanan serta kualitas gizi.
Kasus keracunan MBG adalah peringatan keras bahwa kebijakan pangan tidak boleh semata-mata dilihat dari sisi angka penerima atau volume makanan yang dibagikan. Ia harus ditempatkan dalam kerangka lebih luas: keamanan pangan, ketahanan pangan, dan adaptasi terhadap krisis iklim.
Di tengah target besar negara untuk melindungi anak-anak dari gizi buruk, program MBG tidak boleh menjadi bumerang yang mengorbankan kesehatan mereka. Justru, MBG bisa menjadi momentum untuk membangun sistem pangan sekolah yang berkelanjutan dari dapur ramah iklim, rantai pasok lokal, hingga pengawasan kualitas yang ketat.
Jumlah kasus keracunan MBG yang terus bertambah harus dibaca lebih dari sekadar masalah teknis dapur. Ini adalah refleksi rapuhnya ketahanan pangan kita di tengah iklim yang berubah cepat.
Jika pemerintah ingin MBG benar-benar menjadi warisan positif, maka program ini harus dievaluasi bukan hanya dari sisi manajemen, tetapi juga dari perspektif krisis iklim.
Keamanan pangan adalah isu iklim. Dan tanpa pengakuan itu, insiden serupa bisa terus terulang di masa depan. (*)
***
*) Oleh : Dr. Nofi Yendri Sudiar, M.Si., Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs, Ketua tim UI GreenMetric UNP sekaligus Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: MBG, Berbalik Mengancam Gizi
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |