TIMES PADANG, PADANG – Di tengah dinamika politik dan desakan reformasi peradilan, Presiden Prabowo Subianto mengajukan tujuh nama calon anggota Komisi Yudisial (KY) periode 2025–2030 kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Surat bernomor R-65/Pres/10/2025, bertanggal 22 Oktober 2025, menjadi penanda bahwa masa jabatan anggota KY saat ini akan berakhir pada 21 Desember mendatang. Pengajuan ini bukan sekadar ritual pergantian pejabat; ia adalah sinyal penting mengenai arah pengawasan peradilan di bawah pemerintahan baru.
Dari daftar yang dikirim Presiden, muncul perpaduan nama-nama dari berbagai latar belakang profesi, mencerminkan komposisi yang diharapkan dapat memperkuat fungsi pengawasan hakim yang selama beberapa tahun terakhir menjadi sorotan publik. Dua dari nama itu, F. Willem Saija dan Setyawan Hartono, merupakan mantan hakim.
Kehadiran mereka membawa nuansa baru, sekaligus membuka ruang pertanyaan: apakah pengalaman mereka di ruang sidang mampu menjadi modal untuk menertibkan sesama hakim, atau justru menciptakan potensi kedekatan yang bisa mereduksi ketegasan pengawasan?
Selain unsur mantan hakim, daftar itu juga diisi tokoh-tokoh dari kalangan praktisi hukum seperti Anita Kadir dan Desmihardi. Kehadiran mereka memberi warna tambahan pada komposisi, terutama karena mereka dianggap memahami dinamika nyata dunia litigasi, konflik etik di ruang pengadilan, dan bagaimana praktik peradilan sering kali menyimpang dari teori yang dipelajari dalam buku.
Di sisi lain, dua nama akademisi hukum, Andi Muhammad Asrun dan Abdul Chair Ramadhan, diharapkan menjadi jembatan antara kajian teoritis dan kebutuhan reformasi kelembagaan. Sementara Abhan, yang mewakili unsur masyarakat, memberi harapan bahwa KY tidak akan terjebak dalam dunia teknokratis semata, melainkan tetap peka terhadap aspirasi publik.
Pengajuan tujuh nama ini datang pada momentum yang kritis. Dalam beberapa tahun terakhir, Komisi Yudisial menghadapi tekanan publik karena dinilai kurang agresif dalam menindak pelanggaran etik hakim.
Sejumlah kasus kontroversial yang melibatkan aparat peradilan seakan mempertegas bahwa rumah besar yudikatif masih menyimpan banyak ruangan gelap. Kehadiran nama-nama baru dalam formasi KY memberi peluang untuk memperbaiki hal itu, tetapi juga membawa beban besar: publik akan menilai mereka sejak hari pertama.
Sebelum tujuh nama itu sampai ke meja DPR, mereka lebih dulu melewati seleksi panjang di tingkat pemerintah. Panitia Seleksi (Pansel) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 41/P Tahun 2025 bekerja melalui serangkaian proses yang mencakup verifikasi administrasi, profile assessment, wawancara, dan pengecekan rekam jejak.
Ketua Pansel, Dhahana Putra, menegaskan bahwa seleksi kali ini menempatkan integritas dan potensi konflik kepentingan sebagai prioritas utama. Tahap wawancara yang selesai pada pertengahan September 2025 menjadi parade penting untuk menilai keberanian para calon dalam menjawab isu-isu sensitif yang menyangkut kebebasan hakim dan korupsi peradilan.
Kini tanggung jawab berpindah ke DPR. Fit and proper test yang akan mereka gelar menjadi panggung uji kredibilitas yang menentukan wajah KY beberapa tahun ke depan.
Publik tentu berharap DPR tidak hanya menilai kemampuan teknis, tetapi juga membaca tanda-tanda samar mengenai keberpihakan, independensi, dan rekam jejak moral masing-masing calon. Pengisian jabatan di KY bukan perkara teknis administratif, melainkan penentuan penjaga etik bagi lembaga yang menjadi tulang punggung keadilan negeri.
Di sisi lain, tantangan terbesar justru terletak di luar gedung parlemen. Ketujuh nama itu harus meyakinkan publik bahwa kehadiran mereka bukan sekadar kelanjutan birokrasi peradilan yang selama ini dianggap lamban, tertutup, dan penuh kompromi.
Mereka dituntut menjalankan tugas dengan transparansi penuh, membuka ruang partisipasi masyarakat, dan berani memasuki ruang-ruang gelap yang selama ini tabu disentuh. Reformasi peradilan tak bisa lagi disandarkan pada laporan internal atau retorika kelembagaan, ia membutuhkan langkah konkret dari wajah-wajah baru yang berani menantang status quo.
Pengajuan nama-nama tersebut juga menandakan bagaimana Prabowo ingin menata ulang lanskap pengawasan hakim. Dengan memadukan mantan hakim, praktisi, akademisi, dan unsur masyarakat, Presiden seperti ingin mengirim pesan bahwa KY harus menjadi lembaga yang lebih inklusif sekaligus lebih tajam.
Namun harapan itu hanya akan menjadi catatan kaki jika para calon gagal menampilkan konsistensi, keberanian, dan integritas di tengah tekanan politik serta dinamika internal dunia peradilan.
Kini semua mata tertuju pada DPR dan tujuh nama yang dikirim Presiden. Publik pun bersiap menilai: apakah Komisi Yudisial periode 2025–2030 akan menjadi wajah baru reformasi peradilan, atau justru tenggelam menjadi catatan rutin pergantian pejabat yang tak meninggalkan perubahan berarti.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |