TIMES PADANG, PADANG – Kasus demi kasus kebocoran radiasi bukanlah kebetulan tunggal, melainkan cermin retak dari sistem yang sakit. Ia menunjukkan lemahnya simpul pengawasan dari hulu ke hilir.
Aroma busuk itu tercium lagi. Bukan hanya bau udang beku yang terkontaminasi, melainkan bau yang lebih menyesakkan: gugupnya birokrasi dan lumpuhnya nurani dalam mengelola bahaya yang tak kasatmata.
Setiap kali lonceng bahaya radioaktif berdentang dari Batan Indah pada 2020 hingga serangkaian kasus material hilang lainnya selalu ada dua pertanyaan yang menggantung di udara, sama mendasarnya dengan teori atom: seberapa jauh paparan yang menjangkiti, dan seberapa tulus serta siapkah negara memanggul tanggung jawab atasnya?
Indonesia, sekali lagi, terperangkap dalam pusaran kecerobohan. Kali ini, sorotan tajam datang dari seberang samudra, dari lembaga otoritas Amerika Serikat. Mereka mendapati noda hitam Cesium-137 pada komoditas yang menjadi kebanggaan ekspor: udang beku dan cengkeh.
Sebuah aib dagang yang menusuk ulu hati, sekaligus tamparan keras bagi Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan seluruh perangkat pengawasan domestik.
Peringatan keras yang seharusnya dipetik dari insiden sebelumnya termasuk kehebohan warga Selandia Baru yang ramai-ramai hengkang ke luar negeri akibat isu lingkungan terbukti hanya menjadi angin lalu.
Cesium-137 adalah isotop radioaktif berumur panjang. Paruh waktunya sekitar 30 tahun. Ini bukan sekadar debu yang mudah disapu; ia adalah residu beracun yang sulit dienyahkan, memiliki daya jangkau yang mampu mencemari lingkungan hingga lintas generasi.
Ia menempel, meresap, dan berdiam diri, mengintai inang-inang baru, dari air tanah hingga komoditas pangan yang siap dihidangkan di meja makan global.
Indonesia, dengan catatan sejarah yang bersih dari produksi Cesium-137, semestinya berada dalam posisi aman. Seluruh sumber bahan radioaktif ini yang biasanya digunakan dalam industri, kedokteran, atau penelitian adalah barang impor, berada di bawah mata elang BAPETEN.
Namun, yang terjadi adalah paradoks yang memuakkan: bahan yang diatur ketat itu bisa lolos dari benteng pengawasan hingga mencemari rantai pasok ekspor.
Pernyataan resmi dari BAPETEN selalu berirama serupa: langkah dekontaminasi masif telah dilakukan, air tanah dinyatakan aman, dan investigasi tengah berjalan. Namun, publik disuguhi laporan yang kerap tumpul. Mereka tak mendapat gambaran utuh tentang peta risiko yang sebenarnya.
Siapa yang lalai? Mengapa pengawasan berkali-kali jebol? Sanksi apa yang menanti para pemegang izin yang abai? Pertanyaan-pertanyaan itu, layaknya hantu di siang bolong, terus menghantui dan minim jawaban yang tegas.
Jejak Lalai dan Alibi Birokrasi
Kasus demi kasus kebocoran radiasi bukanlah kebetulan tunggal, melainkan cermin retak dari sistem yang sakit. Ia menunjukkan lemahnya simpul pengawasan dari hulu ke hilir. Bahan radioaktif, yang seharusnya dijaga layaknya emas batangan, sering kali diperlakukan seperti barang rongsokan.
Penyimpanan yang tak standar, transfer material yang longgar, hingga minimnya screening di pintu-pintu ekspor menjadi lubang menganga yang dimanfaatkan oleh si racun senyap.
Birokrasi, dalam hal ini, seringkali tampil gagap. Respons mereka, alih-alih menenangkan, justru menimbulkan kecurigaan. Ada kecenderungan untuk mengunci rapat informasi, menyajikan data yang steril, dan menyingkirkan whistleblower atau pakar independen yang menyuarakan keraguan.
Mereka lebih memilih kesyahduan semu daripada chaos yang jujur. Padahal, dalam manajemen risiko radiasi, kejujuran adalah dosis penawar pertama sebelum dekontaminasi kimia.
Ketika otoritas Amerika mendeteksi kontaminasi pada udang beku dan cengkeh, bukan hanya nilai ekonomi produk yang rontok. Lebih jauh, kredibilitas negara di pasar global ikut tergerus.
Label "Made in Indonesia" kini berisiko menyandang cap ganda: produk berkualitas dan potensi ancaman radioaktif. Ini adalah kerugian reputasi yang nilainya tak bisa dikonversi dengan angka di neraca perdagangan.
Insiden-insiden radiasi, pada akhirnya, selalu bermuara pada satu ujian utama: derajat kejujuran sebuah negara terhadap rakyatnya sendiri. Ketika sebuah insiden terjadi, negara wajib menyajikan data paparan secara transparan, menjelaskan risiko dengan bahasa yang gamblang, dan melibatkan ahli independen untuk mengaudit langkah penanganan.
Ini adalah prinsip dasar tata kelola yang baik yang seringkali diabaikan, digantikan oleh naluri protektif para pejabat yang takut dicopot dari kursinya.
Kasus Cesium-137 pada komoditas ekspor adalah puncak gunung es. Ia menyiratkan bahwa masalah pengawasan bukan hanya terjadi di area berizin BAPETEN, melainkan telah merembes ke rantai pasok komersial. Ini membutuhkan sebuah reformasi total dalam pengawasan, bukan sekadar operasi lip service dekontaminasi.
Pemerintah harus berani mengambil keputusan pahit: audit menyeluruh pada seluruh pemegang izin bahan radioaktif, penegakan hukum yang tak pandang bulu, dan, yang paling penting, menciptakan budaya keterbukaan informasi. Ancaman radiasi tidak mengenal batas geografis dan generasi.
Selama negara masih memilih topeng ketenangan di atas wajah kejujuran, selama itu pula Cesium-137 dan kawan-kawannya akan terus menjadi hantu senyap yang siap mengguncang tatanan kesehatan dan ekonomi negeri ini.
Publik menunggu. Tidak hanya menunggu udang beku yang bersih, tetapi juga menunggu keberanian moral dari Istana dan lembaga pengawasan untuk mengakui, memperbaiki, dan bertindak. Karena, dalam urusan ancaman radiasi, krisis kejujuran jauh lebih berbahaya daripada krisis Cesium. Ia merusak kepercayaan, mata uang paling berharga dalam sebuah negara.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |