TIMES PADANG, PADANG – Palu Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja diketuk tapi gaungnya sudah menembus jauh, melampaui batas-batas ruang rapat kementerian, melintasi lorong-lorong gedung BUMN, dan mencapai setiap meja birokrasi di penjuru negeri.
Putusan itu bukanlah sekadar ketukan ritual; ia adalah sebuah hentakan konstitusional yang memaksa ribuan aparatur negara untuk menatap ulang definisi, peran, dan batas-batas jabatan mereka. Keputusan ini menjadi penanda penting bahwa sistem negara yang sehat membutuhkan kejelasan peran, bukan kerancuan status.
Satpam, Advokat, dan Pikiran yang Tajam
Tokoh sentral dalam drama konstitusi ini adalah Syamsul Jahidin. Profesi sehari-harinya: seorang Satuan Pengamanan (Satpam). Namun, di balik seragamnya, tersembunyi pikiran yang jauh lebih tajam bahkan lebih lantang dari sirene mobil patroli.
Syamsul bukan hanya penjaga gerbang. Ia adalah seorang advokat berpendidikan tinggi, bahkan seorang mahasiswa doktoral yang berasal dari Mataram.
Ketika banyak pihak memilih diam atau menerima fenomena penempatan anggota aktif Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di jabatan sipil, Syamsul justru berdiri tegak dan memilih untuk menggugat. Ia melihat ada anomali yang berpotensi merusak integritas birokrasi dan fungsi utama Polri.
Gugatannya, yang teregistrasi dalam Perkara 114/PUU-XXIII/2025, menargetkan frasa krusial dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Frasa tersebut, yang berbunyi “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”, memungkinkan anggota Polri aktif menduduki posisi sipil dengan dalih penugasan.
MK, melalui putusannya, menyatakan bahwa frasa tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pesan MK sederhana namun sangat keras dan fundamental: jika seorang anggota Polri berkeinginan untuk menduduki jabatan di luar institusi kepolisian baik di kementerian, lembaga negara, maupun BUMN, maka ia harus mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu. Tidak ada lagi jalan pintas melalui penugasan semata.
Selama ini, kita telah menyaksikan sejumlah anggota Polri aktif ditempatkan di posisi-posisi strategis dalam ranah sipil sebagai staf ahli di kementerian, deputi di berbagai lembaga negara, atau bahkan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Fenomena ini melahirkan apa yang disebut dualisme jabatan: satu orang memegang dua status dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Birokrasi seakan-akan telah bertransformasi menjadi taman bermain seragam ganda, di mana personel militer atau polisi dapat dengan mudah mengenakan seragam sipil, mencampurkan tugas penegakan hukum dengan fungsi administratif sipil. Hal ini tidak hanya mengaburkan batas wewenang, tetapi juga berpotensi mengganggu netralitas dan profesionalitas institusi kepolisian itu sendiri.
MK kini menegaskan kembali batas-batas yang jelas melalui Putusan 114/PUU-XXIII/2025. Inti dari keputusan ini adalah mengembalikan sistem ke jalur profesionalnya: penegak hukum harus fokus menegakkan hukum, dan tidak seharusnya menjadi bagian integral dari birokrasi sipil yang memiliki fungsi berbeda. Pemisahan peran ini krusial untuk menjaga akuntabilitas dan memastikan bahwa setiap institusi bekerja sesuai mandat konstitusionalnya.
Palu Konstitusi untuk Akal Sehat dan Fokus Peran
Putusan 114/PUU-XXIII/2025 tidak berdiri sendiri. Ia didampingi oleh Putusan 128/PUU-XXIII/2025, yang bersama-sama menjadi dua penjuru penting dalam menata ulang pengaturan jabatan publik di Indonesia. Perkara 128/PUU-XXIII/2025 secara spesifik menyasar isu rangkap jabatan wakil menteri, menegaskan bahwa jabatan tersebut pun harus dibatasi.
Menariknya, putusan ini menyertakan masa transisi selama dua tahun untuk penerapannya, menunjukkan upaya MK untuk menyeimbangkan antara penegakan konstitusi dan stabilitas administrasi pemerintahan.
Kedua putusan ini membawa pesan yang tegas dan tidak bisa ditawar: pemangku jabatan harus fokus pada satu peran. Negara, dengan segala kompleksitasnya, tidak dirancang untuk sistem multi-role atau rangkap jabatan yang tumpang tindih. Setiap jabatan menuntut dedikasi penuh, dan kerancuan peran hanya akan melemahkan efektivitas pemerintahan.
Tamparan Konstitusional dari Gerbang Utama
Di tengah para jenderal, menteri, dan birokrat berlevel tinggi, muncul tokoh yang tak terduga: seorang satpam yang berani melayangkan gugatan. Syamsul Jahidin datang ke MK bukan dengan pentungan penjaga, melainkan dengan gugatan konstitusional yang matang; bukan dengan pistol, tetapi dengan pena, argumen hukum, dan haknya sebagai warga negara.
Dalam sebuah gerakan yang tampak sederhana, ia memberikan tamparan telak pada sistem yang telah terlampau nyaman dengan kerancuan dan kenyamanan rangkap jabatan. Syamsul membuktikan bahwa warga negara biasa bahkan mereka yang sehari-hari bertugas di gerbang memiliki kekuatan untuk memegang palu keadilan konstitusional dan menuntut negara kembali ke rel yang benar. Keberaniannya meruntuhkan mitos bahwa hanya tokoh-tokoh besar yang dapat memengaruhi kebijakan pada level tertinggi.
Pasca-putusan ini, sejumlah anggota Polri aktif yang saat ini menjabat di posisi sipil tentu harus mempertimbangkan kembali peranannya. Mereka perlu menyelaraskan diri dengan amanat konstitusi yang telah ditegaskan MK. Meskipun muncul angka estimasi anggota Polri aktif di jabatan sipil, seperti "4.351" dalam laporan pers, angka ini masih perlu konfirmasi resmi dari institusi terkait.
Putusan ini dapat dipahami melalui sebuah metafora: Pulang ke Markas. Markas di sini bukan sekadar bangunan fisik Kepolisian, melainkan panggung utama penegakan hukum itu sendiri. Kembali ke "markas" berarti kembali ke fungsi inti dan tugas pokok Polri: melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum; bukan malah menjadi bagian dari birokrasi sipil yang tugasnya bersifat administratif dan kebijakan publik. Ini adalah panggilan untuk memurnikan peran.
Dalam perjalanan reformasi birokrasi yang panjang dan seringkali berliku, suara sirene kini terdengar pelan bukan sebagai tanda bahaya, tetapi sebagai panggilan mendalam menuju keadilan yang lebih murni dan tata kelola yang lebih bersih.
Putusan ini adalah bukti nyata bahwa sistem yang paling mapan sekalipun dapat dan harus ditegur oleh satu warga negara, jika sistem tersebut terbukti melanggar fondasi konstitusional.
Syamsul Jahidin mungkin hanya satu orang kecil dari Mataram, seorang satpam. Namun, keberaniannya telah menjadi gema besar, membangkitkan kesadaran bagi siapa pun yang percaya bahwa hukum dan konstitusi adalah entitas yang jauh lebih besar dan lebih mulia daripada jabatan atau kekuasaan temporer. Gugatannya adalah pelajaran tentang kedaulatan warga negara di hadapan palu keadilan.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |