https://padang.times.co.id/
Opini

Menata Ulang Orkestrasi Komunikasi Kabinet Prabowo

Kamis, 13 November 2025 - 14:38
Menata Ulang Orkestrasi Komunikasi Kabinet Prabowo Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.

TIMES PADANG, PADANG – TAK terasa, sudah genap lebih satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming berjalan. Dari pengamatan saksama, komunikasi politik pemerintah masih jauh dari kategori profesional. Aliran komunikasi yang disampaikan bagai masih bersumber dari orkestra tanpa konduktor.

Harian Kompas, dalam laporan refleksi satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, menyebut fase ini sebagai periode yang “dibayangi blunder komunikasi politik”. Mayoritas kebijakan pemerintah kehilangan makna karena disampaikan secara tergesa dan tanpa koordinasi antar lembaga.

Menilik ini, krisis narasi pemerintahan kabinet Merah Putih ini sudah saatnya diperbaiki. Dalam masyarakat yang hyper-connected, pesan bukan sekadar pelengkap kebijakan, melainkan bagian dari kebijakan itu sendiri. Sebuah keputusan yang benar bisa menjadi salah jika dikomunikasikan dengan buruk.

Sebaliknya, kebijakan yang rumit pun bisa diterima jika dijelaskan dengan jujur dan empatik. Dapat dikatakan, pemerintah Prabowo-Gibran, sejauh ini masih tertatih-tatih menemukan keseimbangan antara dua kutub itu.

Prabowo Subianto memasuki istana dengan citra yang telah lama dianut: lugas, nasionalis, berkarakter militer. Gaya kepemimpinan itu, yang di masa kampanye diartikulasikan sebagai “ketegasan”, kini justru menjadi bumerang bagi gaya komunikasi politiknya. 

Beberapa kali, nada tinggi atau gurauan sarkastik presiden di depan insan pers menimbulkan tafsir negatif, bahkan viral, seolah merepresentasikan arogansi kekuasaan.

Dalam komunikasi politik, gaya militeristik yang mengandalkan instruksi dan hirarki tidak kompatibel dengan lanskap pemerintahan sipil yang mensyaratkan kecairan demokrasi. Dalam banyak kesempatan, kekurangpekaan pemerintah terhadap berbagai masalah dan isu krusial berdampak pada polarisasi opini tanpa arah. 

Keputusan pun diambil tanpa narasi pendamping yang memadai. Relevan dengan hal ini, Harold Lasswell jauh-jauh hari mengatakan, komunikasi politik bukan hanya tentang what to say, tetapi juga when dan how to say it (1948).

Contoh paling gamblang terlihat pada isu pangan, pada Januari 2025. Dalam satu minggu, tiga pejabat mengeluarkan tiga versi berbeda mengenai rencana impor beras. Menteri perdagangan bicara soal kebutuhan jangka pendek, Menteri pertanian menolak, sementara istana menenangkan publik dengan pernyataan bahwa stok aman. 

Konsekuensinya, pesan yang tumpeng tindih menciptakan ketidakpastian. Masyarakat akhirnya lebih disibukkan dengan pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya merupakan rujukan utama saluran komunikasi negara.

Episode serupa berulang pada sektor lain, memperlihatkan bahwa disonansi pesan bukan sekadar insiden, melainkan pola. Sekaitan ini, Lab 45, lembaga riset yang meneliti tata kelola komunikasi publik, menilai bahwa pemerintah belum memiliki sistem komunikasi terpadu. Sebanyak 151 blunder komunikasi terus terjadi, terbagi ke dalam 14 isu, mulai politik, ekonomi, hukum, HAM, hingga gender. 

Koordinasi antar kementerian pun berjalan tanpa satu pusat narasi yang kuat. Setiap menteri tampil sebagai komunikator independen yang membawa versinya masing-masing. Akibatnya, pesan pemerintah yang seharusnya tunggal berubah menjadi polifonik, penuh noise.

Presiden sendiri sempat mengakui kekurangan itu. Dalam beberapa wawancara, ia menyatakan bahwa sistem komunikasi publik pemerintah memang masih “belum baik”. Pengakuan yang jujur. Berita buruknya, kelemahan ini bukan sekadar persoalan teknikal, melainkan struktural.

Krisis Makna Sistemik

Fenomena buruknya kualitas komunikasi pemerintahan Prabowo dapat dirangkum ke dalam frasa “krisis makna”. Di berbagai kanal media sosial dan pemberitaan media massa kita bisa menjustifikasi gejala ini. 

Pemerintah kerap gagal mengelola ekspektasi massa. Konsekuensinya, setiap pernyataan pejabat yang tidak sinkron berpotensi menimbulkan erosi kepercayaan dan kegaduhan.

Dalam laporan evaluatif harian Kompas, disebutkan bahwa anomali pesan komunikasi publik ini telah menjadi pola, bukan insiden kasuistik semata. Pemerintah sering kali terlalu fokus pada kontrol pesan ketimbang keterbukaan dan kejelasan penyebaran pesan. 

Padahal, dalam era media sosial, pesan tidak bisa dikontrol, ia hanya bisa dikelola melalui kecepatan, empati, dan konsistensi. Begitu salah satu unsur itu hilang, seluruh bangunan legitimasi komunikasi ikut goyah.

Fakta konkretnya terjadi saat gelombang aksi demonstrasi mahasiswa di lebih 20 kota yang mempertanyakan mega-tunjangan legislator dan stagnasi ekonomi rakyat di akhir Agustus-awal September lalu. 

Kala itu, respon pejabat tinggi terkesan over-reaktif. Kritik dianggap ancaman, bukan bagian dari dialog publik. Demonstran dianggap pengacau keamanan, tak sedikit yang ditangkap dan dilabeli pengganggu demokrasi. 

Ini tentu bertentangan dengan hakikat komunikasi politik yang sehat, perbedaan pandangan justru adalah indikator demokrasi. Pemerintahan yang alergi terhadap kritik akan selalu gagal mengembangkan narasi yang inklusif.

Merujuk kembali temuan Lab 45, ada tiga sumber utama kelemahan komunikasi kabinet Prabowo. Pertama, defisit koordinasi. Kedua, kecepatan tanggap yang rendah. Ketiga, absennya empati. 

Pemerintah tampak lebih sibuk mengelola persepsi elite dibanding menjawab keresahan masyarakat. Akibatnya, muncul kesenjangan antara realitas kebijakan dan persepsi rakyat.

Kelemahan lain adalah ketergantungan pada propaganda simbolik. Pemerintahan era Prabowo gemar mengobral jargon: “Indonesia kuat”, “kerja nyata”, “berdaulat dan berdikari”. Namun simbol yang diulang tanpa narasi konkret justru kehilangan daya. Ketika rakyat tidak melihat bukti yang sepadan dengan slogan, simbol berubah menjadi klise, bahkan omong kosong.

Di tengah krisis arus pesan negara, dibutuhkan political will membenahinya secara sistemik. Hingga kolom ini ditulis, pesan pemerintah tetap disampaikan tanpa titik tekan pengelolaan isu, tanpa disposisi juru bicara yang dipercaya, dan tanpa berlandaskan prinsip keterbukaan terhadap kritik. Padahal, dalam konteks teori agenda-setting McCombs dan Shaw (1972), penempatan isu prioritas memengaruhi keberhasilan komunikasi politik. 

Contoh konkret adalah saat gelombang keracunan akibat salah urus program Makan Bergizi Gratis, akhir September hingga awal Oktober lalu. Publik mendesak evaluasi menyeluruh, bahkan penghentian sementara. Pemerintah merespons secara tidak utuh dan objektif. Di beberapa kesempatan malah terkesan bahwa isu ini dianggap kurang penting. 

Ironisnya, Presiden sibuk mengedepankan ‘keberhasilan’ MBG dari perspektif kuantitatif. Kelemahan sistemik tersebut seyogyanya tidak diatasi secara parsial, perlu lembaga pengendali komunikasi yang kuat di tingkat nasional. 

Solusi signifikan adalah merevitalisasi Badan Komunikasi Pemerintah (BKP) agar berfungsi bukan sekedar corong informasi, melainkan pusat kendali narasi lintas kementerian. BKP harus diperkuat dengan sumber daya profesional di bidang komunikasi strategis, riset opini publik, dan manajemen krisis. 

BKP juga layak diberi kewenangan menetapkan single narrative policy bagi seluruh juru bicara pemerintah. Kita jangan segan belajar dari UK Government Communication Service di Inggris, atau Singapore Government Communications Unit di Singapura.

Melalui sistem komunikasi yang terintegrasi dan berbasis data, BKP dapat memastikan setiap kebijakan dikomunikasikan secara konsisten, cepat, empatik, dan selaras dengan konteks sosial-politik. Jika ini dijalankan, ke depan pemerintah dapat tampil lebih kredibel, responsif dan komunikatif. Juga, dapat memperbaiki kualitas komunikasi pemerintah dan meningkatkan kepercayaan publik.

Ringkasnya, satu tahun pertama pemerintahan Prabowo adalah pelajaran mahal tentang urgensi manajemen komunikasi politik dan publik. Rendahnya kualitas dalam mengirim dan merespons informasi di awal periode pemerintahan berisiko mengaburkan orientasi implementasi kebijakan di tahun-tahun berikutnya. Dalam era ketika legitimasi lahir dari narasi, kegagapan berkomunikasi bisa lebih berbahaya daripada kesalahan bertindak. (*)

***

*) Oleh : Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Padang just now

Welcome to TIMES Padang

TIMES Padang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.