https://padang.times.co.id/
Opini

Cipta Celah di Balik Cipta Kerja

Minggu, 08 Juni 2025 - 08:58
Cipta Celah di Balik Cipta Kerja Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

TIMES PADANG, PADANG – Lebih dari tiga tahun sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), harapan akan perbaikan iklim ketenagakerjaan di Indonesia masih jauh dari kenyataan. 

Janji penyederhanaan regulasi dan peningkatan daya saing tenaga kerja berubah menjadi ilusi, seiring terus mencuatnya kasus pelanggaran hak-hak pekerja.

Fleksibilitas yang dijanjikan oleh regulasi ini-yang oleh pemerintah disebut sebagai pintu pembuka investasi dan lapangan kerja-nyatanya justru membuka celah untuk praktik ketenagakerjaan yang eksploitatif. Sektor pendidikan tinggi menjadi salah satu contoh gamblang. 

Surat Edaran Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 44 Tahun 2024 menuai protes keras dari Serikat Pekerja Kampus (SPK). Alih-alih melindungi tenaga pendidik di perguruan tinggi swasta, surat edaran ini dinilai menambah kekaburan status kerja dosen, memperbesar ruang bagi eksploitasi, dan mencerminkan tata kelola yang tak berpihak.

Menurut Dhia Al Uyun, Ketua SPK, pemerintah seolah lepas tangan terhadap kesejahteraan dosen dan tenaga pendidik. Tanpa jaminan perlindungan yang jelas, para akademisi hanya menjadi penumpang gelap dalam sistem kerja kampus—tak diangkat, tak diberi jaminan sosial, namun terus diminta loyal mengajar dan meneliti.

Ironis, bila mengingat bahwa mereka adalah penjaga gerbang pengetahuan. Di luar kampus, situasi tak jauh berbeda. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat 26.455 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 20 Mei 2025. 

Angka ini meningkat sekitar 5.000 kasus dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah PHK tertinggi, diikuti oleh DKI Jakarta dan Riau. Sektor yang paling terdampak meliputi industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta jasa. 

Namun, data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menunjukkan angka yang lebih tinggi. Hingga 10 Maret 2025, Apindo mencatat 73.992 kasus PHK. Perbedaan data ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam pelaporan dan pencatatan kasus PHK antara pemerintah dan pelaku usaha. 

Pelanggaran terhadap hak pekerja juga terlihat dalam pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR). Pada periode 24–29 Maret 2025, Kemnaker menerima 2.216 pengaduan masalah THR. 

Sebanyak 1.322 pengaduan di antaranya berkaitan dengan THR yang belum dibayarkan. Namun, hanya 9 persen dari total pengaduan yang berhasil diselesaikan oleh posko. 

Di Jawa Timur, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mencatat peningkatan jumlah korban pelanggaran THR menjadi 1.811 pekerja pada 2025, naik dari 1.203 pekerja pada tahun sebelumnya. 

Mayoritas korban adalah pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak), diikuti oleh pekerja tetap, harian lepas, dan outsourcing. Sebanyak 86 persen dari korban mengalami pencicilan THR, 9 persen tidak dibayar, 4 persen tidak pernah menerima THR, dan 1 persen dibayar dengan syarat. 

Pemerintah boleh saja mengklaim telah membina dan mengawasi lebih dari 12 juta pekerja lewat program pengawasan dan keselamatan kerja. Namun, efektivitas pengawasan ini masih dipertanyakan, mengingat masih banyaknya kasus pelanggaran yang terjadi. 

LBH Surabaya mencatat bahwa perusahaan swasta menjadi pelaku pelanggaran hak asasi manusia terbanyak sepanjang 2024, dengan 44 kasus pelanggaran.

UU Cipta Kerja memang dirancang untuk mengakomodasi dinamika dunia usaha yang berubah cepat. Namun ketika aturan ini hanya memberi kelonggaran pada pengusaha tanpa menciptakan pagar hukum yang tegas bagi perlindungan buruh, maka yang terjadi bukanlah keseimbangan, melainkan ketimpangan struktural. 

Buruh menjadi beban yang bisa dikurangi sewaktu-waktu, dan hak-haknya dianggap fleksibel—padahal itu menyangkut hidup dan penghidupan manusia.

Tak mengherankan bila gugatan terhadap UU Cipta Kerja menggema ke Mahkamah Konstitusi. Putusan inkonstitusional bersyarat yang dikeluarkan MK pada 2021 pun akhirnya dijawab pemerintah lewat Perppu Nomor 2 Tahun 2022. 

Namun substansi perlindungan terhadap pekerja belum berubah signifikan. Sementara pemerintah menambal aturan, perusahaan terus mencari celah. Maka, Cipta Kerja berubah jadi Cipta Celah.

Kita tak sedang menolak investasi atau efisiensi. Tapi pembangunan ekonomi tak boleh ditebus dengan mengorbankan perlindungan dasar bagi buruh. Dunia usaha dan perlindungan hak pekerja seharusnya tidak dipertentangkan, melainkan dibangun dalam satu ekosistem yang adil. 

Di tengah gempuran ekonomi digital, gig economy, dan pergeseran pasar kerja, pemerintah justru harus memperkuat fondasi keadilan kerja. Bukan melonggarkan batasnya.

Sudah waktunya orientasi pembangunan kita bergeser dari sekadar menciptakan pekerjaan, menuju menciptakan pekerjaan yang layak. Kita butuh paradigma baru: buruh bukan semata alat produksi, tetapi manusia yang punya martabat, hak, dan kontribusi. Negara harus hadir sebagai penyeimbang, bukan sebagai fasilitator satu arah untuk kepentingan investor.

UU Cipta Kerja, jika ingin menjadi warisan yang membanggakan, harus menjawab kegelisahan ini. Tidak cukup dengan sosialisasi atau pengawasan simbolik. Dibutuhkan revisi substansial, mekanisme penegakan hukum yang tajam, serta keterlibatan buruh dalam merumuskan kebijakan yang menyangkut hidup mereka.

Jika tidak, maka “cipta kerja” hanya akan menjadi jargon kosong yang menyembunyikan kesenjangan dan ketidakadilan. Sebuah hukum yang lebih sibuk menciptakan celah, ketimbang menciptakan perlindungan. Sebuah janji yang diingkari oleh praktiknya sendiri. (*)

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Padang just now

Welcome to TIMES Padang

TIMES Padang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.