TIMES PADANG, PADANG – Setiap Idul Adha tiba, umat Islam di berbagai penjuru dunia menyambutnya dengan gegap gempita: deretan sapi dan kambing memenuhi masjid dan lapangan, takbir berkumandang, lalu daging dibagikan dalam kantong-kantong plastik bertuliskan nama para donatur.
Namun, dalam keramaian itu, terselip pertanyaan penting: apakah kita benar-benar memahami makna qurban, atau justru kita hanya menyentuh permukaannya?
Ibadah qurban bukan semata proses penyembelihan hewan. Ia adalah simbol transendental—tentang penaklukan ego, penguatan solidaritas, dan peneguhan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam kisah Nabi Ibrahim dan Ismail yang menjadi dasar ritual ini, kita tidak hanya disuguhkan kisah ketaatan absolut, tapi juga pergulatan batin tentang kerelaan melepaskan yang paling dicintai. Sebuah pengorbanan yang bukan tanpa air mata, tetapi justru karena itulah ia bermakna.
Menyembelih Bukan Sekadar Menyayat Daging
Surah Al-Hajj ayat 37 menegaskan bahwa yang sampai kepada Allah dari hewan qurban bukanlah daging dan darahnya, melainkan ketakwaan pelakunya. Pesan ini seolah menegur keras dunia kita hari ini yang makin terobsesi pada pencitraan.
Kurban bisa saja berubah menjadi panggung simbolik: hewan paling gemuk dipamerkan, logo lembaga dibentangkan besar-besaran, dan foto-foto distribusi daging beredar masif di media sosial.
Niat beribadah bercampur dengan hasrat eksistensi. Kita harus jujur bertanya: apakah kita sedang menyembelih hewan, atau justru sedang merawat ego?
Dalam kerangka spiritualitas Islam, menyembelih hewan adalah tindakan simbolik untuk menyembelih sesuatu yang lebih dalam: hawa nafsu, keangkuhan, dan rasa kepemilikan yang absolut.
Kurban menjadi semacam praktik kontemplatif yang mendorong kita untuk memeriksa ulang apa yang kita genggam terlalu erat—entah itu harta, jabatan, atau pengakuan publik.
Sepotong Daging, Seribu Arti Solidaritas
Esensi sosial dari qurban terletak pada distribusinya. Islam menggariskan bahwa daging kurban harus diberikan kepada yang membutuhkan. Ini bukan sekadar prosedur fiqih, tapi fondasi keadilan sosial.
Kurban menjadi momen di mana daging yang biasanya hanya dapat dinikmati sebagian orang kelas menengah ke atas, kini hadir di piring-piring keluarga buruh, pemulung, atau janda lansia yang nyaris terlupakan negara.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul tren qurban digital: kita cukup transfer uang, lalu menerima sertifikat, bahkan video penyembelihan. Praktik ini tentu sah, bahkan efisien, namun patut dikritisi bila menjauhkan umat dari keterlibatan emosional dan sosial dalam berbagi.
Kurban bukan sekadar transaksi ibadah, melainkan relasi: antara pemberi dan penerima, antara manusia dan kemanusiaannya sendiri.
Dari Ritual ke Gaya Hidup yang Lebih Sederhana
Kurban juga menyimpan potensi kritik terhadap gaya hidup konsumtif. Di tengah dunia yang menyembah kemewahan dan gengsi, kurban adalah ajakan untuk melepaskan.
Kita diminta menyisihkan sebagian dari yang halal, untuk membahagiakan yang tak punya. Ini bukan ajakan untuk hidup miskin, tapi seruan untuk hidup cukup dan tahu kapan berhenti menumpuk.
Dalam konteks perubahan iklim dan krisis ekologis, ibadah qurban juga perlu diletakkan dalam perspektif keberlanjutan. Lembaga zakat dan penyelenggara qurban mulai mendorong praktik ramah lingkungan: membeli hewan dari peternak lokal, mengelola limbah organik, bahkan mengolah kulit dan tulang menjadi produk bermanfaat. Kurban yang sadar lingkungan adalah bentuk ibadah yang relevan dengan tantangan zaman.
Kurban sebagai Praktik Politik Etis
Lebih dari sekadar ritual tahunan, qurban bisa dibaca sebagai bentuk politik kepedulian. Dalam masyarakat yang kian terbelah oleh kesenjangan dan ketidakadilan, kurban hadir sebagai pengingat bahwa spiritualitas harus berwujud nyata.
Ibadah tak hanya urusan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga horisontal dengan sesama. Maka, kurban sejatinya adalah pengorganisasian sumber daya bersama demi memastikan bahwa tidak ada yang lapar saat yang lain berkelimpahan.
Negara, ormas keagamaan, dan komunitas lokal dapat menjadikan kurban sebagai wahana solidaritas sosial yang terstruktur. Apakah kurban tahun ini hanya mencatat jumlah sapi dan kambing yang disembelih? Atau kita mulai bertanya: apakah kurban tahun ini membuat si miskin merasa lebih dihargai, lebih dilibatkan, lebih dipeluk oleh masyarakat?
Menajamkan Pisau Batin
Kurban, pada akhirnya, bukan hanya peristiwa fisik. Ia adalah latihan batin. Setiap kali kita mengasah pisau untuk menyembelih, sejatinya kita juga diajak mengasah empati, keikhlasan, dan keberanian untuk melepaskan.
Dunia yang kian menilai manusia dari kepemilikan dan pencapaian membuat pesan qurban terasa kian relevan: nilai seseorang tidak ditentukan dari apa yang ia genggam, tapi dari apa yang rela ia lepaskan.
Semoga saat pisau menyentuh leher hewan qurban, hati kita lebih dulu tersentuh. Agar makna qurban tidak berhenti di meja pemotongan, tetapi menjelma dalam laku hidup sehari-hari—dalam kesederhanaan, kepedulian, dan keputusan-keputusan kecil yang berpihak pada kasih dan keadilan.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |