TIMES PADANG, PADANG – Suasana di kawasan industri Karawang beberapa waktu lalu terasa muram. Deru mesin di salah satu pabrik garmen berhenti lebih cepat dari biasanya.
Ratusan buruh berdiri di depan gerbang, sebagian menggenggam surat putih yang sama: surat pemutusan hubungan kerja. Adegan ini bukan lagi berita mengejutkan. Di era sekarang, PHK seakan sudah menjadi wajah baru ketidakpastian di negeri ini.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) merilis data bahwa pada Juli 2025, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 1.118 orang, turun dari Juni (1.609 orang) dan Mei (4.702 orang). Sepintas, grafik ini memberi harapan. Tapi jika ditarik ke periode lebih panjang, angkanya bikin merinding.
Sejak Januari 2024 hingga Februari 2025, sebanyak 96.575 tenaga kerja resmi tercatat kehilangan pekerjaan. Menaker Yassierli bahkan menyebut, hingga awal Juni 2025, total pekerja yang ter-PHK sudah menembus 30 ribu orang.
Badan Pusat Statistik (BPS) menambahkan catatan lebih suram. Pada Februari 2025, jumlah pengangguran terbuka mencapai 7,28 juta orang, naik sekitar 83 ribu dibanding tahun sebelumnya.
Angka ini memang hanya 4,76 persen dari total angkatan kerja, tetapi bayangan ketidakpastian sudah menempel erat di benak jutaan kepala keluarga.
Dari Startup sampai Pabrik Tekstil
Gelombang PHK menyapu lintas sektor. Dunia startup teknologi, yang beberapa tahun lalu dielu-elukan sebagai simbol masa depan ekonomi digital, kini justru jadi penyumbang pengangguran baru.
Nama besar seperti GoTo, Ruangguru, sampai startup e-commerce kelas menengah mengumumkan perampingan. Alasannya sama: efisiensi, pembakaran modal yang terlalu lama, dan persaingan global yang makin keras.
Sementara di sektor konvensional, industri tekstil dan produk turunannya kembali limbung. Di Karawang dan Bandung, ratusan buruh pabrik garmen kehilangan pekerjaan akibat pesanan ekspor menurun.
Global supply chain yang belum pulih, ditambah serbuan produk murah dari luar negeri, membuat perusahaan lokal megap-megap. “Kalau order terus anjlok, PHK tak bisa dihindari,” kata seorang pengusaha tekstil di Cimahi.
Tak hanya manufaktur dan startup, sektor perbankan dan keuangan juga terimbas. Beberapa bank pelat merah memang tidak melakukan PHK massal, tetapi menawarkan program pensiun dini yang jumlahnya ribuan.
Strateginya sederhana: merampingkan struktur agar lebih adaptif dengan era digital banking. Namun bagi pekerja, program ini tetap terasa sebagai “pemecatan terselubung.”
Antara UU dan Realitas
Secara hukum, aturan sebenarnya cukup tegas. UU Ketenagakerjaan, yang diperbarui lewat UU Cipta Kerja, menegaskan bahwa PHK harus ditempuh sebagai jalan terakhir, setelah ada evaluasi, teguran, hingga mediasi.
Namun praktik di lapangan kerap jauh panggang dari api. Banyak pekerja yang tiba-tiba menerima surat PHK tanpa proses dialog, bahkan ada yang hanya mendapat pemberitahuan lewat email.
Kemnaker memang menyediakan kanal pelaporan dan mediasi. Namun Ombudsman pernah mencatat, tidak sedikit pekerja yang merasa “dipingpong” antarinstansi.
Padahal, bagi buruh pabrik yang gajinya pas-pasan, kehilangan pekerjaan sebulan saja bisa berarti bencana: cicilan macet, dapur tidak ngebul, sekolah anak terganggu.
Pemerintah berusaha menutup celah ini lewat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Secara teori, pekerja yang terkena PHK bisa mendapat uang tunai selama enam bulan serta akses pelatihan kerja.
Masalahnya, program ini masih belum populer. Banyak pekerja bahkan tidak tahu cara mengaksesnya. Data BPS Februari 2025 menunjukkan tingkat partisipasi pekerja dalam program pelatihan pasca-PHK masih rendah, jauh dari target.
Politik di Balik Angka
Persoalan PHK ternyata tak hanya soal ekonomi, tapi juga politik. Gelombang kritik dari serikat pekerja kerap ditanggapi pemerintah dengan data yang berbeda. DPR mencatat, selama Januari–Maret 2025, ada 60 ribu pekerja terdampak PHK di 40 perusahaan.
Angka ini jauh di atas klaim Kemnaker yang hanya melaporkan 24.036 kasus. Perbedaan data ini menimbulkan kecurigaan: apakah pemerintah sengaja mengecilkan angka agar situasi terlihat terkendali?
Sementara itu, netizen punya analisis sendiri. Bagi mereka, BUMN yang seharusnya menjadi contoh pun masih dipenuhi kursi komisaris titipan politik. Fenomena “bagi-bagi jabatan” kepada buzzer, artis, atau tokoh non-teknis sering jadi bahan sindiran.
Di media sosial, muncul komentar sinis: “Kalau komisarisnya salah jurusan, jangan heran kalau PHK jadi tren.” Kritik serupa pernah dimuat Tempo, menyorot bagaimana jabatan empuk di perusahaan negara dijadikan hadiah politik.
Di balik statistik ribuan orang yang kehilangan pekerjaan, ada kisah-kisah manusia yang jarang tersorot. Seperti Andi, buruh pabrik garmen di Bekasi, yang setelah 15 tahun bekerja harus pulang membawa amplop PHK. “Katanya karena order sepi,” ujarnya. Sejak itu, Andi jadi sopir ojek online, berjuang membayar cicilan rumah dan biaya sekolah dua anaknya.
Cerita serupa datang dari Maria, pegawai startup pendidikan di Jakarta. Dalam sebuah town hall meeting, CEO perusahaannya mengumumkan pemangkasan 20 persen karyawan. “Katanya untuk efisiensi,” kata Maria. Ia dan ratusan rekannya keluar kantor dengan mata berkaca-kaca, membawa kotak kardus berisi barang pribadi.
Kisah-kisah ini menggambarkan wajah nyata dari istilah “efisiensi.” Bagi perusahaan, angka di neraca harus diseimbangkan. Bagi pekerja, itu berarti kehilangan penghasilan dan arah hidup.
Gelombang PHK yang terus bergulir membuat banyak pihak resah. Ekonom dari Universitas Indonesia mengingatkan, jika tren ini tak segera diantisipasi, Indonesia bisa terjebak dalam “middle income trap” lebih lama. Bagaimana mau mengejar target pertumbuhan 8 persen, kalau mesin produksinya terus kehilangan tenaga kerja?
Pemerintah memang punya mimpi besar membawa Indonesia jadi negara maju 2045. Tapi di jalan menuju ke sana, suara ribuan pekerja yang di-PHK tak boleh diabaikan. Mereka bukan sekadar angka di tabel statistik, melainkan denyut kehidupan masyarakat.
Bagi Andi, Maria, dan ratusan ribu lainnya, PHK bukan hanya tren baru dalam negeri, melainkan kenyataan pahit yang harus dihadapi setiap hari. Pertanyaannya: apakah negara benar-benar hadir untuk memastikan mereka tidak berjalan sendirian di tengah badai? (*)
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: PHK, Tren Baru dalam Negeri
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |