TIMES PADANG, PADANG – Tiap 1 Juli, barisan polisi berderet rapi di lapangan upacara. Ada parade kendaraan taktis, pengibaran bendera, hingga pidato petinggi negara yang menyuarakan semangat pelayanan dan pengabdian.
Hari Bhayangkara, yang diperingati sejak dekade awal kemerdekaan, kembali hadir dalam ritual tahunan yang mengukuhkan eksistensi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai garda depan penjaga keamanan.
Namun, di luar pagar apel kehormatan itu, riak publik menunjukkan gelombang yang tak lagi tenang. Di tahun politik dan zaman yang serba digital ini, wajah Bhayangkara tak cuma diwarnai semangat pengabdian, tapi juga keraguan, kecurigaan, bahkan amarah.
Reformasi Polri seharusnya telah dimulai sejak dua dekade silam, sejak institusi ini resmi dipisahkan dari tubuh militer. Namun bayang-bayang masa lalu belum sepenuhnya sirna.
Dalam banyak kasus, perilaku aparat masih menggambarkan pendekatan koersif ala zaman otoritarian. Padahal, dalam negara demokrasi, kepolisian sipil seharusnya menjadi instrumen perlindungan warga, bukan alat penguasa.
Di lapangan, ketegangan itu masih terasa. Masyarakat menuntut perlindungan dan rasa aman. Namun di saat bersamaan, ketakutan atas penyalahgunaan wewenang justru semakin sering muncul, terutama saat hukum bersentuhan dengan kritik dan ekspresi.
Kasus demi kasus menyembul ke permukaan, merusak citra institusi yang dibangun dengan jargon Polri Presisi. Skandal pembunuhan Brigadir J oleh atasannya sendiri membuka borok yang tak bisa ditutupi: bahwa ada kekuasaan tak terkendali di tubuh lembaga yang seharusnya menegakkan hukum.
Publik terkejut, tapi tak terlalu heran. Karena bukan kali ini saja nama polisi dikaitkan dengan kekerasan, intimidasi, atau rekayasa perkara. Dalam indeks kepercayaan publik, Polri masih tertinggal jauh dibanding lembaga lain seperti TNI atau KPK.
Bahkan dalam sejumlah survei, rasa takut terhadap aparat justru lebih besar ketimbang kejahatan itu sendiri. Namun menjadi tidak adil jika seluruh tubuh institusi disamaratakan.
Di balik seragam, banyak anggota Polri yang bekerja dalam diam: menjadi penengah konflik sosial di kampung-kampung, melerai tawuran, menyelesaikan perselisihan rumah tangga, hingga berjibaku di tengah bencana.
Polisi di tingkat akar kerap memikul beban yang tak setara dengan fasilitas dan dukungan struktural yang mereka miliki. Justru mereka yang paling sering berhadapan langsung dengan amarah publik, padahal bukan mereka yang membuat keputusan strategis atau memegang wewenang penyidikan kasus besar.
Tugas polisi hari ini juga jauh lebih rumit dari sebelumnya. Mereka tak hanya berhadapan dengan maling, pembunuh, atau begal, tapi juga dengan algoritma. Dunia maya telah menjadi ladang kejahatan baru yang tak kasatmata: penipuan daring, peretasan data, ujaran kebencian, dan teror digital melintasi yurisdiksi dengan kecepatan klik.
Di tengah gempuran itu, aparat dituntut tanggap, cerdas, dan netral. Namun masalahnya, ketika polisi bersentuhan dengan ruang digital, yang muncul justru adalah ketimpangan perlakuan. Kelompok kritis kepada negara sering kali lebih cepat diproses dibanding buzzer pendukung kekuasaan. Semangat netralitas pun terkikis oleh praktik selektivitas.
Di tahun politik seperti sekarang, tantangan itu menjadi berlipat. Polisi ditugasi menjaga stabilitas, mengawal pemilu, meredam provokasi, tapi sekaligus menghadapi ujian paling berat: menjaga jarak dari kekuasaan.
Publik selalu waspada melihat bagaimana polisi tampil di tengah demonstrasi, di tengah kampanye, dan di balik layar penghitungan suara. Satu langkah keliru saja bisa memperkuat narasi bahwa Polri telah menjadi alat politik, bukan lagi pelindung rakyat.
Itu sebabnya, peringatan Hari Bhayangkara tahun ini tak bisa hanya menjadi pesta internal. Ia harus menjadi momen reflektif, menyeluruh, dan jujur. Apakah institusi ini telah cukup terbuka terhadap kritik?
Apakah mekanisme pengawasan internal masih relevan, atau sudah saatnya diperkuat dengan kontrol sipil yang sejati? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung sejak lama, dan sayangnya, belum ada jawaban memuaskan.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang telah meluncurkan visi Presisi: prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Sebuah cita-cita reformis yang terdengar menjanjikan. Namun visi tanpa perubahan struktural hanya akan menjadi jargon tahunan.
Pemisahan fungsi intelijen dari tindakan represif, peningkatan akuntabilitas publik, dan transparansi dalam rekrutmen serta promosi jabatan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Tanpa perombakan dalam sistem kepangkatan dan budaya organisasi, slogan hanya akan bertahan sampai poster berikutnya dicetak.
Di banyak negara, institusi kepolisian yang dipercaya adalah yang transparan dan bersedia dikritik. Di Swedia dan Kanada, komite pengawas eksternal memiliki kewenangan memeriksa pelanggaran polisi secara independen. Di Inggris, Independent Office for Police Conduct dapat menyidik petugas yang melanggar etika tanpa intervensi struktural.
Di Indonesia, lembaga seperti Kompolnas atau Ombudsman belum memiliki gigi yang cukup tajam untuk membongkar pelanggaran sistemik. Penegakan etika masih cenderung internal, tertutup, dan jauh dari jangkauan warga biasa.
Padahal, kepercayaan adalah pondasi utama kerja kepolisian. Tanpa kepercayaan, setiap patroli akan dianggap intimidasi, setiap pemeriksaan akan dipandang sebagai ancaman, dan setiap pengumuman pers akan dianggap rekayasa.
Masyarakat yang tidak percaya pada aparat, pada akhirnya, akan memilih jalur sendiri untuk mencari keadilan dan itu jauh lebih berbahaya bagi stabilitas negara.
Kita tidak bisa berharap polisi menjadi malaikat. Tapi kita bisa menuntut institusi yang jujur, terbuka, dan berpihak pada keadilan. Hari Bhayangkara adalah pengingat bahwa kekuasaan Polri bukan berasal dari senjata atau seragam, tapi dari legitimasi sosial yang diberikan oleh rakyat. Dan legitimasi itu hanya bisa dijaga bila polisi berdiri di sisi korban, bukan di bawah bayang-bayang penguasa.
Jika Polri mampu memanfaatkan momen ini untuk menata ulang wajahnya membuka pintu bagi pengawasan sipil, membereskan budaya kekerasan, dan memperkuat integritas personelnya.
Maka perayaan Hari Bhayangkara akan bermakna lebih dari sekadar ritual tahunan. Ia akan menjadi titik balik yang sungguh-sungguh, bukan hanya di kalender, tetapi di hati masyarakat yang selama ini ragu untuk percaya.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |