TIMES PADANG, PADANG – Perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama di Indonesia. Komoditas ini menopang devisa negara, menciptakan lapangan kerja, serta menghidupi jutaan petani di berbagai daerah.
Namun di balik peran strategis tersebut, muncul perdebatan serius mengenai dampaknya terhadap lingkungan, terutama dalam konteks perubahan iklim. Salah satu aspek yang sering luput dari perhatian publik adalah bagaimana konversi hutan menjadi lahan sawit mengubah iklim mikro di sekitarnya.
Iklim mikro merupakan kondisi cuaca lokal dalam skala kecil yang bisa sangat berbeda dari kondisi iklim regional. Hutan tropis, dengan tajuk pepohonannya yang lebat, memiliki kemampuan alami untuk menstabilkan suhu, menjaga kelembaban, dan mendaur ulang uap air melalui transpirasi.
Ketika hutan ditebang dan diganti dengan perkebunan monokultur seperti kelapa sawit, fungsi ekologis tersebut berkurang drastis, menyebabkan perubahan iklim mikro yang mencolok.
Studi yang dilakukan oleh Hardwick et al. (2015) mengungkap bahwa konversi hutan tropis primer menjadi perkebunan kelapa sawit dapat menyebabkan peningkatan suhu udara hingga 6,5°C. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa hutan primer memiliki suhu 2,5°C lebih rendah dibandingkan dengan hutan sekunder atau bekas tebangan.
Kenaikan suhu ini bukan hanya berdampak pada kenyamanan termal makhluk hidup di sekitarnya, tetapi juga mempercepat laju penguapan, mengeringkan tanah lebih cepat, dan memicu stres termal bagi tumbuhan dan hewan.
Di Provinsi Jambi, hasil penginderaan jauh menunjukkan perbedaan suhu permukaan tanah yang signifikan antara sawit muda dan sawit tua. Suhu permukaan tanah di perkebunan sawit berusia dua tahun tercatat 2°C lebih tinggi dibandingkan dengan sawit dewasa berusia sembilan belas tahun. Sementara itu, sawit dewasa hanya menunjukkan peningkatan suhu 0,5°C dibandingkan dengan kawasan hutan alami.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa usia tanaman sawit turut menentukan kemampuan suatu area dalam mempertahankan kestabilan iklim mikro. Tanaman yang lebih muda cenderung belum memiliki kanopi yang memadai untuk menaungi permukaan tanah, sehingga lebih banyak energi matahari yang diserap langsung oleh tanah dan meningkatkan suhu secara signifikan.
Selain suhu, perubahan iklim mikro juga tercermin dari penurunan kelembaban relatif dan meningkatnya defisit tekanan uap (Vapor Pressure Deficit/VPD), yaitu selisih antara kelembaban aktual dan kelembaban maksimum yang dapat ditampung udara.
Kenaikan VPD mengindikasikan udara yang semakin kering, yang tidak hanya memengaruhi kenyamanan biologis, tetapi juga berdampak pada siklus air di suatu kawasan. Udara yang kering cenderung menyerap lebih banyak air dari tanah dan tumbuhan, sehingga memperparah kekeringan lokal terutama pada musim kemarau.
Dampak paling ekstrem dari perubahan iklim mikro terlihat pada lahan gambut yang dikonversi menjadi perkebunan sawit. Lahan gambut secara alami bersifat basah, menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar, dan sangat sensitif terhadap perubahan hidrologi.
Ketika hutan rawa gambut dibuka untuk sawit, proses drainase yang dilakukan agar tanah dapat digunakan justru menyebabkan pengeringan lapisan gambut. Dalam kondisi ini, suhu permukaan meningkat secara drastis, kelembaban tanah menurun, dan risiko kebakaran meningkat tajam.
Kebakaran di lahan gambut bukan hanya melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar, tetapi juga menimbulkan kabut asap yang mengganggu kesehatan masyarakat dan mengganggu aktivitas sosial-ekonomi.
Efek dari perubahan iklim mikro di kawasan perkebunan sawit bukanlah fenomena lokal semata. Jika dikalikan dengan luas lahan sawit yang kini mencapai lebih dari 16 juta hektare di Indonesia, dampaknya terhadap sistem iklim nasional bahkan global menjadi sangat signifikan.
Penurunan kemampuan lahan dalam menyerap karbon, peningkatan suhu lokal, dan gangguan terhadap siklus hidrologi lokal adalah komponen-komponen yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dalam skala lebih luas.
Meskipun demikian, tidak semua perkebunan sawit berdampak negatif dalam tingkat yang sama. Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa praktik agroforestri atau integrasi keanekaragaman hayati di dalam kebun sawit dapat menurunkan suhu mikro, meningkatkan kelembaban, dan mengurangi tekanan ekologis secara keseluruhan.
Kepadatan tanam yang seimbang, konservasi vegetasi bawah, dan pemeliharaan koridor hutan di antara blok-blok kebun dapat menjadi strategi mitigasi sederhana namun efektif.
Tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dengan urgensi pelestarian iklim dan lingkungan. Pemerintah telah menetapkan moratorium izin baru untuk sawit di kawasan hutan primer, namun pelaksanaan di lapangan masih menghadapi hambatan implementasi dan pengawasan.
Diperlukan kebijakan yang lebih progresif dan berbasis data ilmiah untuk memastikan bahwa perluasan perkebunan tidak lagi mengorbankan fungsi ekosistem penting.
Di tengah krisis iklim global, pemahaman terhadap dampak lokal seperti perubahan iklim mikro di kawasan sawit menjadi sangat penting. Hal ini dapat menjadi dasar bagi masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah dalam mengambil keputusan yang lebih bijak dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sawit mungkin tetap menjadi bagian penting dari pembangunan nasional, tetapi harus dikelola dengan cara yang lebih berkelanjutan, lestari, dan ramah iklim.
***
*) Oleh : Dr. Nofi Yendri Sudiar, M.Si. Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs sekaligus Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |