TIMES PADANG, PADANG – Dalam sejarah panjang Republik ini, 5 Juli tak hanya dikenal sebagai tanggal dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945, tetapi juga hari kelahiran lembaga yang senyap tapi krusial: Bank Indonesia (BI).
Pada 5 Juli 1953, De Javasche Bank yang merupakan warisan kolonial resmi dinasionalisasi dan berubah menjadi bank sentral milik bangsa.
Dengan berdirinya BI, Indonesia tak hanya mengambil alih institusi keuangan yang semula melayani kepentingan pemerintah kolonial, tetapi juga meletakkan fondasi bagi sistem moneter yang berdaulat.
Di pundak bank sentral itulah nasib nilai tukar rupiah, inflasi, cadangan devisa, hingga stabilitas ekonomi makro negara digantungkan.
Dari De Javasche Bank ke Bank Indonesia
De Javasche Bank, didirikan pada 1828 oleh pemerintah Hindia Belanda, berfungsi sebagai bank sirkulasi dan memainkan peran penting dalam sistem keuangan kolonial. Setelah Indonesia merdeka, keberadaannya menjadi ganjalan dalam proses dekolonisasi ekonomi.
Presiden Soekarno memahami bahwa kemerdekaan politik harus diikuti kemerdekaan moneter. Maka, melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1953, De Javasche Bank dinasionalisasi dan lahirlah Bank Indonesia.
Sejak itu, Bank Indonesia memikul fungsi sebagai bank sentral yang bertugas mengatur dan menjaga kestabilan nilai rupiah. Dalam perkembangan berikutnya, BI juga ditugaskan mengawasi perbankan nasional, hingga fungsi ini dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2013.
Penjaga Inflasi, Penjaga Negeri
Tugas utama Bank Indonesia saat ini adalah menjaga kestabilan nilai rupiah, yang diukur lewat inflasi dan nilai tukar. Dalam beberapa dekade terakhir, peran ini makin vital di tengah gejolak ekonomi global, fluktuasi harga komoditas, dan ketegangan geopolitik.
Tahun 1998 menjadi ujian besar bagi BI. Krisis moneter Asia membuat rupiah rontok dari sekitar Rp2.500 per dolar menjadi lebih dari Rp16.000. Bank-bank bangkrut, ekonomi tumbang.
BI, yang saat itu belum independen, mendapat sorotan tajam. Perubahan pun dilakukan. Melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga independen, tak lagi tunduk pada pemerintah.
Independensi ini terbukti penting. Dalam krisis keuangan global 2008, BI mampu menjaga inflasi tetap terkendali dan mengelola gejolak pasar modal dengan kebijakan moneter yang hati-hati.
Demikian pula saat pandemi COVID-19 menerpa pada 2020, BI berperan sebagai penyedia likuiditas dan stabilisator pasar, serta ikut mendukung pemulihan ekonomi nasional melalui skema burden sharing bersama pemerintah.
Prestasi dan Capaian
Tak banyak yang tahu, Bank Indonesia adalah salah satu bank sentral yang paling awal menerapkan sistem pembayaran berbasis QR Code melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), yang diluncurkan pada 2019. Teknologi ini menyederhanakan transaksi digital dan memperluas inklusi keuangan, terutama di sektor UMKM.
Program BI-Fast, layanan transfer antarbank real-time dengan biaya murah, juga menjadi bukti bagaimana bank sentral tak lagi identik dengan kebijakan abstrak dan jargon teknokratis. Ia hadir dalam genggaman rakyat, lewat transaksi harian yang efisien dan terjangkau.
Bank Indonesia juga aktif dalam mendukung keuangan syariah. Sejak 2014, BI mendorong penguatan ekonomi syariah melalui pelatihan, riset, dan berbagai platform UMKM halal. Tak heran jika Indonesia beberapa kali menempati posisi teratas dalam Global Islamic Economy Indicator untuk kategori keuangan syariah.
Suka-Duka dan Kritik
Meski demikian, jalan BI tak selalu mulus. Pada masa lalu, bank sentral ini pernah menjadi sasaran intervensi politik. Penyaluran kredit yang dipaksakan untuk proyek-proyek pemerintah era Orde Baru menyebabkan inflasi tinggi dan instabilitas moneter.
Dalam dua dekade terakhir, BI juga menghadapi tantangan pelik. Ketika nilai tukar rupiah anjlok pada 2015 dan 2018, tekanan publik datang dari berbagai arah: investor gelisah, pemerintah resah, dan rakyat merasakan dampaknya dalam harga kebutuhan pokok. BI dituntut bertindak cepat, tetapi juga cermat. Seringkali publik tak sabar, padahal kebijakan moneter butuh waktu untuk berbuah.
Di sisi lain, independensi BI kerap disalahpahami. Ketika pemerintah ingin ekspansi fiskal, BI diminta ikut mendanai lewat pembelian SBN (Surat Berharga Negara).
Di sinilah tarik-menarik antara akuntabilitas publik dan stabilitas moneter menjadi perdebatan abadi. Tidak mudah menjadi bank sentral yang netral di tengah kegaduhan politik dan tekanan ekonomi.
Merawat Integritas di Era Baru
Kini, di usianya yang ke-72, Bank Indonesia berada di persimpangan penting. Di satu sisi, dunia sedang bergerak ke arah digitalisasi uang dengan munculnya mata uang kripto dan rencana penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC), yakni Digital Rupiah. Di sisi lain, tantangan klasik seperti ketimpangan ekonomi, kredit macet, dan volatilitas pasar masih membayangi.
BI harus mampu menjawab dua zaman sekaligus: era analog yang belum sepenuhnya selesai, dan era digital yang telah di ambang pintu. Pada 2023 lalu, BI meluncurkan tahap awal Digital Rupiah melalui proyek Garuda. Ini bukan sekadar eksperimen teknologi, melainkan langkah strategis menjaga kedaulatan moneter dalam lanskap keuangan yang kian tanpa batas.
Dengan jumlah karyawan lebih dari 6.000 orang dan kantor perwakilan di seluruh provinsi, BI hari ini bukan hanya regulator, tapi juga fasilitator pembangunan ekonomi daerah. Lewat program BI Corner, bantuan UMKM, pelatihan petani, hingga edukasi literasi keuangan, BI menjangkau yang tak terjangkau.
Hari ini, saat kita memperingati Hari Bank Indonesia, tak ada salahnya memberi ruang sejenak untuk menghargai kerja lembaga yang lebih banyak bekerja dalam senyap. Di balik layar kebijakan, BI adalah penjaga nilai uang di dompet kita, stabilisator harga kebutuhan pokok, dan penopang kepercayaan pasar terhadap negara.
Menjaga rupiah bukan semata menjaga angka. Ia adalah soal menjaga mimpi, kepercayaan, dan masa depan Republik.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |