TIMES PADANG, PADANG – Pukul delapan malam, Kamis, 20 November 2025, sebuah meja rapat di Hotel Aston City, Jakarta, berubah menjadi ruang keputusan yang menghasilkan riak besar: sebuah risalah Rapat Harian Syuriyah PBNU meminta KH Yahya Cholil Staquf yang akrab disebut Gus Yahya mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PBNU dalam tempo tiga hari, dan bila tidak, akan diberhentikan.
Keputusan itu, yang ditandatangani Rais Aam KH Miftachul Akhyar bersama dua Wakil Rais Aam, seketika menyulut gelombang reaksi di ranah publik dan internal NU.
Poin-poin yang melatari ultimatum itu menurut risalah yang beredar mengandung tiga isu pokok: Pertama, hadirnya narasumber yang disebut terkait dengan jaringan Zionisme internasional dalam kegiatan Akademi Kepemimpinan Nasional NU (AKN NU).
Kedua, dugaan pelanggaran nilai dan prinsip Ahlussunnah wal Jamaah dalam praktik organisasi. Ketiga, indikasi masalah tata kelola keuangan yang berimplikasi serius terhadap eksistensi badan hukum NU.
Ketiga babak ini lantas membentuk narasi yang tidak mudah diredam oleh pernyataan maaf atau klarifikasi singkat.
Gejolak ini bukan muncul dari ruang hampa. Kontroversi undangan Peter Berkowitz seorang akademikus yang dituduh pro-Israel ke arena AKN sudah memakan waktu berbulan-bulan, memaksa PBNU mengeluarkan permintaan maaf publik pada Agustus lalu. Meski permintaan maaf disampaikan, luka reputasi rupanya belum kering ketika Syuriyah menilai ada kelalaian seleksi narasumber yang berdampak pada citra organisasi.
Dalam wacana publik, isu Palestina menjadi semacam sensitive trigger; sentimen publik terhadap siapa pun yang real atau hanya karena kecerobohan administrasi terkait dengan hal itu, cenderung memunculkan reaksi keras.
Respons internal pun bergerak cepat: selain risalah Syuriyah, struktur organisasi PBNU menggeber serangkaian pertemuan koordinasi. Pengurus Tanfidziyah mengundang Pengurus Wilayah NU se-Indonesia untuk rapat koordinasi di Jakarta sebuah langkah untuk menampung aspirasi daerah dan meredam potensi polarisasi di tubuh jamaah.
Di belakang angka-angka formal itu—37 hadir dari 53 anggota Syuriyah tersembunyi kekhawatiran: bila tidak dikelola baik, konflik elite semacam ini bisa menular ke basis sampai ke pesantren dan madrasah.
Di ranah publik, drama tiga hari berubah jadi talk show tanpa jeda. Netizen berperan sebagai hakim sekaligus komentator; unggahan viral, klaim "hampir seluruh Nahdliyin sepakat", dan analisis selera cepat memenuhi kolom komentar.
Realitas media sosial ini mempercepat dan sekaligus menyederhanakan persoalan kompleks menjadi narasi hitam-putih sesuatu yang amat dikhawatirkan para kiai karena berpotensi merusak kehati-hatian tradisi NU yang menekankan tabayun dan musyawarah.
Namun, di sisi lain, tekanan publik ini juga menjadi pendorong bagi otoritas organisasi untuk bertindak cepat entah itu bertujuan meredam, mengoreksi, atau sekadar menunjukkan pengendalian.
Gus Yahya sendiri memilih menahan bicara terbuka pada tahap awal. Di beberapa pernyataan terbatas sebelumnya, ia pernah menyampaikan permintaan maaf atas kekhilafan undangan narasumber, menegaskan bahwa sikap NU terhadap Palestina tetap konsisten.
Tetapi kajian Syuriyah lebih luas daripada sekadar polemik undangan: menyentuh aspek etik, hukum organisasi, dan tata kelola internal ruang yang menuntut langkah struktural, bukan sekadar perbaikan frasa dalam press release.
Selain sisi internal dan publisitas, pertanyaan praktis muncul: bagaimana mekanisme pemberhentian dalam AD/ART NU? Pengurus yang memutuskan memberhentikan pemimpin organisasi tidak bisa semata-mata mengandalkan ketukan palu rapat tertutup di hotel. Ada prosedur administratif yang harus dilalui surat peringatan, tahapan klarifikasi, hingga forum muktamar bila diperlukan.
Itu sebabnya suara-suara moderat dalam organisasi menekankan tabayun dan proses berjenjang, mengingat implikasi aturan formal terhadap legitimasi keputusan. Seruan agar segala sesuatu mengikuti prosedur bukan semata pembelaan personal; ia adalah panggilan agar organisasi tetap terjaga dari potensi disorientasi institusional.
Dua skenario besar kini membayangi: jika Gus Yahya mundur, rumput politik akan segera tumbuh siapa pengganti, bagaimana peta kekuatan di muktamar, dan apakah kepemimpinan mendatang mampu merangkul kembali jamaah yang tercecer.
Jika ia bertahan, maka proses politis dan hukum dalam tubuh NU berpotensi memasuki babak konflik berkepanjangan dengan risiko reputasi organisasi yang harus dijaga selama ini. Kedua pilihan ini sama-sama berisiko; perbedaannya hanya pada bentuk konsekuensi yang akan dihadapi oleh organisasi dan publik.
Di saat tekanan publik makin deras, satu hal tampak jelas: konflik ini bukan hanya soal figur. Ia soal bagaimana organisasi tradisional besar seperti NU menegakkan tata kelola di era informasi cepat, mempertahankan khittah sambil menyesuaikan diri dengan tuntutan transparansi.
Sebuah organisasi yang kuat bukan sekadar mampu mengoreksi kesalahan, tetapi juga mampu merawat prosedur, menjelaskan keputusan, dan menyejukkan basisnya.
Sampai batas waktu tiga hari itu habis, publik dengan cara khasnya: setengah cemas, setengah hiburan akan terus menunggu. Di antara cuit, risalah, dan rapat koordinasi, tinggal menunggu satu tindakan nyata: apakah NU memilih penutup babak yang cepat, ataukah membuka lembaran panjang yang menguji ketahanan institusionalnya.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |