https://padang.times.co.id/
Opini

Ketika Emansipasi Dibenturkan dengan Pajak

Senin, 17 November 2025 - 20:45
Ketika Emansipasi Dibenturkan dengan Pajak Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

TIMES PADANG, PADANG – Suatu sore di sebuah kedai kopi kecil di bilangan Kuningan, Jakarta, seorang perempuan muda bernama Nadira Prameswari, 29 tahun, duduk menatap layar ponselnya. Tubuhnya condong sedikit ke depan, alisnya mengernyit, jarinya menahan jeda pada sebuah video singkat yang sedang viral.

Di layar, tampak seorang wanita cantik berpenampilan modern gaun tanpa lengan, tampak percaya diri, berbicara lantang pada sebuah kamera smartphone. “Mencari nafkah itu tugas suami,” katanya. “Istri bekerja? Itu bukan emansipasi. Itu strategi pemerintah menambah pajak.”

Nadira mengulang video itu. Sekali lagi. Lalu sekali lagi. Setiap repetisi membuatnya semakin takjub sekaligus kesal. Bukan karena ia menolak gagasan bahwa suami memang bertanggung jawab memberi nafkah. Bukan pula karena ia alergi pada kritik tentang beban ganda perempuan. Ia justru terbiasa dengan diskusi macam itu ia tumbuh besar di keluarga yang berdebat soal feminisme di meja makan.

Yang membuat Nadira gerah adalah cara perempuan dalam video itu menyederhanakan persoalan besar menjadi slogan satu menit yang menghakimi jutaan perempuan bekerja sebagai sekadar “komoditas pajak”.

Fenomena video seperti itu selalu datang tiba-tiba, beredar di ruang digital, lalu hilang menembus arus. Tapi, beberapa meninggalkan jejak yang cukup dalam untuk menciptakan polemik nasional mini. Video ini salah satunya.

Bukan pertama kali media sosial melahirkan “pakar instan” yang memadukan potongan opini dengan dramatisasi visual. Namun, ada yang berbeda dari video yang ditonton Nadira. Sang pembicara sebut saja “Mira”, karena identitas aslinya tak jelas dan tak penting untuk disorot tidak memakai diksi keagamaan atau bahasa normatif.

Tidak ada embel-embel “menurut syariat”, “dalam ajaran”, atau “sebagai wanita muslim”. Ia tampil dengan gaya urban, seperti influencer gaya hidup yang sering membahas skincare atau karier. Tapi kontennya justru mengusik wilayah sensitif: relasi gender, beban ekonomi, dan pajak.

“Pemerintah senang kalau perempuan bekerja,” kata Mira dalam video itu. “Bukan karena soal kesetaraan, tapi karena mereka dapat tambahan pemasukan.” Frasa itu menyambar jagat maya seperti api kecil yang tersulut oleh bensin.

Komentar pun tertimbun dalam hitungan menit: ada yang setuju, ada yang mengecam, ada yang setengah-setengah tapi ikut berkoar agar tak ketinggalan percakapan.

Bagi Nadira, pernyataan itu problematik bukan karena salah sepenuhnya, melainkan karena terlalu disederhanakan. Pajak memang instrumen negara; perempuan bekerja memang berpotensi memperluas basis pajak.

Namun menyimpulkan bahwa emansipasi adalah strategi eksploitatif negara itu seperti menyebut seluruh perempuan yang bangun pukul lima pagi untuk mengejar kereta sebagai makhluk naif yang tidak sadar telah dijadikan sapi perah.

Kasihan sekali para ibu yang kerja sambil mengurus rumah, pikir Nadira.

Nadira sendiri adalah contoh perempuan urban yang menurut Mira telah “terjebak” dalam emansipasi. Ia bekerja sebagai analis riset di sebuah firma konsultan internasional. Gajinya cukup, bahkan di atas rata-rata perempuan seusianya. Di rumah, suaminya bekerja sebagai pewarta lepas. Mereka setara, tanpa drama ego nafkah.

Tapi, ketika menonton video itu, Nadira sejenak meragukan pilihan hidupnya. “Apakah aku ini korban pajak negara?” gumamnya. Sejenak ia tertawa, tapi kegelisahan itu tetap tinggal.

Ia memutuskan mencari perspektif lain. Esok harinya ia menemui sahabat lamanya, Ratna, seorang dosen sosiologi ekonomi. Nadira memutar video itu sekali lagi.

Ratna tertawa kecil. “Ini retorika klasik,” katanya sambil menutup laptop. “Kerja perempuan selalu ditempatkan di dua ekstrem: kalau bukan dianggap bentuk ketertindasan, ya dianggap bentuk pembebasan. Padahal, konteksnya jauh lebih rumit.”

Ratna menjelaskan bahwa gagasan tentang perempuan bekerja bukan monopoli negara modern atau gerakan feminisme belakangan. Di berbagai daerah di Indonesia, perempuan telah bekerja jauh sebelum istilah “emansipasi” masuk kamus umum.

Di pasar tradisional, di ladang, di usaha rumahan, di warung kecil. Bukan karena negara ingin pajak. Bukan karena suami enggan bekerja. Tapi karena ekonomi keluarga memang berjalan dengan partisipasi semua anggota.

“Jadi siapa yang mengeksploitasi siapa?” ujar Ratna sambil mengangkat bahu. Namun, popularitas video itu justru menunjukkan gejala lain: kecemasan ekonomi generasi muda. Ketika biaya hidup naik, harga sewa melambung, dan peluang kerja tidak semudah brosur webinar motivasi, gagasan bahwa “istri sebaiknya di rumah saja” terdengar seperti romansa klasik yang menjanjikan kehangatan domestik.

Di sisi lain, pernyataan bahwa pemerintah sengaja “mengambil” pajak dari kerja perempuan mencerminkan sinisme publik terhadap negara yang dianggap tidak benar-benar hadir mengurangi beban ekonomi.

Pakar komunikasi digital mengatakan, video yang menggabungkan kritik halus terhadap pemerintah dan nostalgia domestik seperti itu memang mudah viral. Ia menyentuh dua simpul emosi: ketidakpercayaan dan kerinduan.

Tentu saja perdebatan tidak berhenti di situ. Komentar demi komentar muncul seperti gelombang. Ada yang mengatakan perempuan seharusnya mendukung suami dari rumah. Ada yang menyatakan perempuan bekerja bukan beban, justru penyelamat stabilitas keluarga. Ada juga yang menyindir bahwa pajak bukan hanya dibayar perempuan bekerja pajak rokok juga menyumbang pendapatan negara, tapi tidak ada yang menyebut perokok dieksploitasi.

Beberapa hari setelah videonya viral, Mira muncul lagi dengan unggahan baru. Ia mengatakan bahwa ia hanya “mengungkapkan pendapat pribadi”, bukan membuat teori sosial. Ia bahkan mengunggah foto liburan sambil minum kopi di sebuah pantai, menandakan bahwa ia tak terbebani oleh kehebohan komentarnya.

Nadira menonton unggahan itu dan mendesah panjang. Ia merasa perdebatan publik sering kali terjebak dalam konten yang tidak memberi ruang bagi kedalaman berpikir. Orang seperti Mira akan terus bermunculan, mengisi ruang digital dengan opini 60 detik yang mampu menggoyahkan diskusi 60 tahun tentang peran perempuan dalam ekonomi.

Namun, di satu sisi, video semacam itu memberi kesempatan bagi publik untuk memeriksa ulang cara kita memandang perempuan bekerja. Tidak ada salahnya memikirkan ulang prioritas hidup, mempertanyakan struktur sosial, atau menguji kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari.

Yang salah adalah ketika perempuan yang mengambil keputusan sesuai kebutuhannya baik bekerja maupun di rumah dikotak-kotakkan sebagai “korban” atau “pelaku pemberontakan” semata.

Pada hari itu, Nadira menutup aplikasinya dan merapikan tas. Ia tahu, esok pagi ia akan kembali bekerja bukan untuk pajak, bukan untuk emansipasi, bukan untuk membuktikan apa pun. Ia bekerja karena itu pilihannya. Dan dalam dunia yang penuh suara, pilihan yang jernih kadang lebih berharga dari jutaan kata di video pendek mana pun.

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Padang just now

Welcome to TIMES Padang

TIMES Padang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.