https://padang.times.co.id/
Opini

Dari Adam Smith ke Ekonomi Pancasila

Jumat, 27 Juni 2025 - 07:54
Dari Adam Smith ke Ekonomi Pancasila Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

TIMES PADANG, PADANG – Sejak akhir 1700-an, pandangan tentang ekonomi berubah drastis. Adam Smith, melalui The Wealth of Nations (1776), menegaskan bahwa kekayaan sejati bukan sekadar tumpukan emas, melainkan aktivitas ekonomi sehari-hari masyarakat. 

Ia memperkenalkan konsep “tangan tak terlihat”, di mana harga dan distribusi barang diatur oleh mekanisme pasar, bukan campur tangan negara secara berlebihan. 

David Ricardo dan John Stuart Mill kemudian mengembangkan gagasan ini dengan menyoroti keuntungan komparatif, prinsip bahwa tiap negara bakal lebih efektif jika fokus pada produk yang paling efisien untuk diproduksi. 

Keduanya juga menegaskan bahwa negara harus tetap ambil peran dalam menyediakan layanan publik seperti pendidikan dan infrastruktur dua hal yang tak cukup diatur hanya lewat pasar.

Saat memasuki abad ke-19, paradigma ekonomi mengalami pergeseran besar lewat revolusi marginal. Ekonom seperti Jevons, Menger, dan Walras menemukan bahwa nilai barang tidak semata ditentukan biaya produksi, melainkan oleh bagaimana individu menilai kepuasan tambahan dari unit terakhir barang itu yang disebut utilitas marjinal. 

Alfred Marshall kemudian meracik temuan ini menjadi kerangka teori penawaran dan permintaan yang lebih sistematis, serta memperkenalkan konsep surplus konsumen dan produsen-kerangka yang menjadi dasar mikroekonomi modern.

Lompatan besar berikutnya terjadi pada 1930-an ketika Depresi Hebat mengguncang kepercayaan yang menebalkan teori klasik. John Maynard Keynes hadir menawarkan teori baru dalam buku The General Theory (1936), dengan menegaskan bahwa pasar tidak selalu self-correcting. 

Bila permintaan agregat anjlok dan pengangguran menganga, maka pemerintah perlu turun tangan lewat kebijakan fiskal, seperti belanja publik dan subsidi, agar ekonomi tetap bergerak.

Memasuki era pasca-Perang Dunia II, lahirlah Neoclassical Synthesis-upaya menyatukan mikroekonomi matematis dan makro Keynesian. 

Tokoh-tokohnya seperti Hicks, Modigliani, dan Samuelson membangun kerangka di mana pasar pulih sendiri dalam jangka panjang, namun di jangka pendek, pemerintah harus menjaga stabilitas lewat instrumen seperti pajak, suku bunga, dan subsidi.

Namun begitu, era 1970-an menghantam dengan stagflasi: inflasi dan pengangguran tinggi secara bersamaan fenomena yang tidak bisa dijelaskan oleh teori Keynes saja. Milton Friedman dan mazhab Monetarisme menyorot bahwa sumber inflasi adalah jumlah uang beredar, bukan defisit fiskal. 

Mereka mendorong agar kebijakan moneter diutamakan, pemerintahan minimal, dan ekspektasi ekonomi diarahkan agar lebih rasional. Kebijakan ketat ala Volcker di AS menjadi contoh nyata penerapan prinsip ini.

Seiring perkembangan, asumsi “homo economicus” sebagai makhluk sepenuhnya rasional mulai dipertanyakan. Ekonomi perilaku dari Daniel Kahneman dan Richard Thaler menunjukkan bahwa manusia rentan terhadap bias, seperti takut rugi (loss aversion) atau terpaku pada harga awal (anchoring). 

Sementara ekonomi institusional menekankan bahwa lembaga, norma, dan budaya turut membentuk efisiensi dan keadilan ekonomi suatu negara.

Lantas, di abad ke-21 ekonomi tidak lagi sekadar soal PDB. Paradigma baru menuntut dimasukkannya aspek keberlanjutan sosial dan lingkungan, serta ekonomi berbasis inovasi dan pengetahuan. Riset pun kini semakin menekankan pentingnya inklusi sosial, tanggung jawab ekologis, dan inovasi sebagai pilar ekonomi masa depan.

Tapi ini semuanya masih teori di praktik ada banyak tantangan: Pertama, ketimpangan kian lebar akibat globalisasi dan otomatisasi; sebagian kecil mendapat untung besar, sementara mayoritas tetap terjebak pengangguran dan upah stagnan. 

Kedua, disrupsi teknologi seperti AI dan robotika bisa menggantikan banyak pekerjaan, perlu adaptasi melalui pelatihan ulang dan penguatan sistem jaring pengaman sosial. 

Ketiga, krisis iklim menuntut regulasi lingkungan yang tegas, seperti pajak karbon dan insentif energi hijau. 

Keempat, kebijakan kerap goyah-silih berganti teori: Keynesian, monetarisme, kemudian perilaku; sehingga dampaknya justru reaktif dan tidak konsisten secara ilmiah.

Nah, bagi Indonesia, ini menjadi panggilan untuk kembali ke kearifan lokal. Nilai kekeluargaan dan gotong royong sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 bisa jadi acuan ekonomi inklusif. 

Ekonomi Pancasila, yang digagas oleh tokoh seperti Bung Hatta dan Mubyarto, menekankan koperasi, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat melalui kerangka ekonomi campuran. Ini memberi dasar kuat buat merancang kebijakan konkret: digitalisasi akses dan pendidikan, regulasi iklim sesuai konteks lokal, serta perlindungan sosial bagi kelompok rentan.

Pada akhirnya, ekonomi adalah ilmu yang hidup. Ia mengalir sejajar dengan perubahan zaman. Untuk Indonesia, pendekatan lintas-disiplin yang menggabungkan inovasi, keadilan sosial, dan keberlanjutan bukan hanya relevan, tapi juga sangat strategis. 

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Padang just now

Welcome to TIMES Padang

TIMES Padang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.