TIMES PADANG, PADANG – Gubernur Riau, Abdul Wahid, kembali menggaungkan peringatan keras pada musim kemarau tahun ini. Di hadapan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah dan melalui media lokal, ia menyerukan kepada Polri dan Kejaksaan Tinggi Riau untuk tidak ragu menindak tegas pelaku pembakaran hutan dan lahan, baik individu maupun korporasi.
Titik-titik api mulai bermunculan di berbagai kabupaten: Rokan Hilir, Siak, Kampar, hingga Pekanbaru. Sebagian besar adalah kawasan gambut yang rawan terbakar. Pesan gubernur kali ini mengandung isyarat kuat: Riau tidak boleh kembali dicekik asap.
Namun di luar ruang-ruang rapat dan helikopter yang bersiap melakukan water-bombing, keresahan sudah lebih dulu bergema di pelosok-pelosok desa. Masyarakat di sekitar kawasan rawan karhutla, seperti di Kecamatan Tanah Putih (Rokan Hilir), Minas (Siak), atau Langgam (Pelalawan), tahu benar bahwa begitu asap mulai menebal, hidup mereka berubah drastis.
Tak hanya kabut yang menyelimuti ladang, tetapi juga aktivitas ekonomi yang lumpuh, sekolah yang tutup, dan anak-anak yang batuk tak berhenti.
Dampak sosial karhutla di Riau bukan sekadar soal udara tercemar. Ini menyangkut hilangnya mata pencaharian petani, meningkatnya biaya pengobatan, dan trauma psikologis warga yang sudah berulang kali mengalami bencana serupa.
Tahun 2015 dan 2019 menjadi dua memori kelam yang belum sepenuhnya sembuh. Menurut data Dinas Kesehatan Riau, pada puncak karhutla 2019 saja, lebih dari 275 ribu warga mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dengan korban terbanyak adalah anak-anak dan lansia.
Kabut asap yang ditimbulkan bahkan tak lagi mengenal batas negara. Dalam beberapa kali kejadian besar, termasuk pada tahun 2015 dan 2019, asap pekat yang berasal dari kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan menyebar hingga ke Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Negara-negara tetangga itu tak tinggal diam. Pemerintah Singapura dan Malaysia secara resmi menyampaikan protes kepada pemerintah Indonesia atas pencemaran udara lintas batas ini.
Pada beberapa kasus, Malaysia bahkan mengirimkan bantuan pemadaman dan personel untuk mendukung upaya di lapangan. Namun setiap musim kemarau datang, potensi krisis serupa seolah berulang tanpa pembelajaran berarti.
Kini, masyarakat menanti apakah langkah pemerintah benar-benar berpihak kepada mereka. Gubernur Abdul Wahid telah menyatakan kesiapannya bekerja sama dengan BNPB, BPBD, Manggala Agni, dan BMKG, termasuk menggelar operasi pemadaman dengan helikopter dan rencana hujan buatan. Tapi rakyat kecil tak hidup di ketinggian udara atau ruang rapat. Mereka hidup di batas hutan, di dekat kanal gambut yang mudah terbakar dan sulit dipadamkan.
Air yang dijatuhkan helikopter mungkin mampu memadamkan api dari atas, tetapi tidak serta merta memadamkan rasa takut para petani kecil yang sering kali dijadikan kambing hitam ketika kasus karhutla mencuat. Banyak dari mereka hanya membuka setengah hektare lahan untuk bertanam padi ladang, tanpa akses pupuk atau alat berat.
Sementara itu, perusahaan sawit dengan konsesi ribuan hektare kerap lolos dari jerat hukum. Ketimpangan ini melahirkan rasa getir dan sinisme: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Pernyataan Gubernur Abdul Wahid yang meminta penegakan hukum tanpa pandang bulu adalah harapan lama yang terus diperbaharui. Jika sungguh diwujudkan, akan menjadi preseden penting bagi penegakan keadilan ekologis di Indonesia.
Namun masyarakat menunggu bukti, bukan sekadar pernyataan. Apakah izin usaha perusahaan yang terbukti membakar akan dicabut? Apakah pelaku utama akan diseret ke meja hijau, bukan hanya pekerja lapangan?
Dampak sosial karhutla juga menyentuh dunia pendidikan. Di tahun-tahun sebelumnya, sekolah-sekolah di Riau sempat ditutup selama berminggu-minggu karena kualitas udara memburuk. Anak-anak dipaksa belajar dari rumah di tengah keterbatasan akses dan jaringan.
Guru-guru kewalahan. Banyak anak tertinggal pelajaran. Di beberapa daerah seperti Dumai dan Bengkalis, kegiatan belajar bahkan sempat dihentikan total lebih dari 10 hari. Tahun ini, kecemasan yang sama mulai muncul kembali.
Dari sisi ekonomi, kabut asap mengganggu distribusi logistik, merusak kualitas hasil pertanian, dan menurunkan daya beli warga. Harga komoditas bisa anjlok karena panen rusak, sementara pengeluaran keluarga naik untuk masker, obat, dan ongkos ke dokter.
Sektor pariwisata dan transportasi ikut terpukul. Bandara Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru beberapa kali sempat lumpuh akibat jarak pandang terbatas. Bila krisis ini terulang, kerugiannya bisa menyentuh triliunan rupiah, seperti yang terjadi pada 2015 dan 2019.
Sementara itu, teknologi seperti modifikasi cuaca dan water-bombing memang menjadi harapan. Tetapi teknologi, jika tak disertai keadilan sosial, hanya akan menjadi tambal sulam mahal.
Hujan buatan tidak bisa menyelesaikan akar masalah karhutla: tata kelola lahan yang amburadul, lemahnya pengawasan izin, dan impunitas bagi pelaku besar. Helikopter bisa menjatuhkan air, tapi tidak bisa membasuh ketidakadilan yang dirasakan rakyat kecil.
Kini Riau berada di persimpangan. Apakah pemerintah benar-benar akan menindak korporasi besar yang membakar lahan? Apakah masyarakat akan dilibatkan dalam perencanaan mitigasi, atau hanya dijadikan objek kampanye antiasap? Apakah kabut akan kembali menyelimuti langit-langit rumah warga miskin, atau bisa diusir oleh keberanian politik?
Gubernur Abdul Wahid telah mengetuk pintu penegakan hukum dan merentangkan jaring koordinasi teknis. Namun hasilnya akan diukur dari siapa yang ditangkap, seberapa cepat api padam, dan apakah rakyat akhirnya bisa hidup tanpa harus menutup hidung sepanjang musim kemarau. Bukan sekadar asap yang harus ditekan, tetapi juga kecemasan sosial yang harus dipadamkan.
Jika tidak, Riau akan terus terbakar. Dan rakyatnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, akan kembali jadi korban pertama dan penyintas terakhir. (*)
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |