https://padang.times.co.id/
Opini

Negara yang Diperintah Kertas Palsu

Rabu, 19 November 2025 - 18:34
Negara yang Diperintah Kertas Palsu Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

TIMES PADANG, PADANG – Di sebuah ruangan sempit di belakang kampus swasta tak terkenal di pinggir Jakarta, aroma tinta toner dan kertas baru berbaur pekat. Seorang pria berkemeja putih duduk di depan printer laser, tak acuh. Di sampingnya, tumpukan kertas ijazah kosong berwarna krem keemasan terikat rapi, siap diisi dengan nama siapa pun yang membayar.

“S2 atau S3, Mas?” tanya pria itu tanpa menoleh. “Kalau butuh cepat, tiga hari jadi. Transkrip sekalian? Nilai bisa dipilih.”

Di republik ini, rupanya, ilmu pengetahuan dapat dipersingkat dan integritas bisa dinegosiasikan. Gelar akademik telah berubah fungsi bukan lagi tanda pencapaian intelektual, melainkan sekadar barang dagangan yang dapat ditukarkan. Selamat datang di Indonesia: negara di mana selembar kertas dianggap jauh lebih berharga daripada proses belajar yang sesungguhnya.

Kasus Nurul Qomar mantan anggota DPR, yang divonis karena menggunakan surat keterangan lulus dan ijazah palsu dari UNJ untuk mencalonkan diri sebagai rektor, sesungguhnya hanyalah kotak kecil yang terbuka dari sebuah gudang besar. Vonis penjara 1 tahun 5 bulan adalah hukuman yang sangat kecil jika dibandingkan dengan kerusakan moral yang ditinggalkan.

Namun, yang jauh lebih mengerikan adalah fakta bahwa pejabat publik lain tak kalah lihai. Ada yang mencatut gelar akademik abal-abal dari kampus yang bahkan tak punya ruang kuliah yang layak. Ada pula yang mendapatkan gelar doktor dalam hitungan bulan sebuah "prestasi" yang mustahil tanpa manipulasi sistemik.

Akibatnya, publik kini disodori parade gelar yang panjang di mana-mana: Dr., S.Pd., M.Si., M.M., bahkan gelar-gelar asing yang tak jelas akreditasinya. Gelar-gelar ini dipamerkan dalam baliho kampanye, di papan nama kantor pemerintahan, hingga dalam rapat-rapat resmi, menjadi simbol kekuasaan yang seolah tak terbantahkan. 

Ironisnya, banyak kebijakan publik yang krusial ditandatangani oleh para pemegang gelar yang tidak pernah melalui proses akademik yang layak. Dalam beberapa hal, republik ini sesungguhnya sedang dipimpin oleh orang-orang yang tidak betul-betul lulus.

Ketika Kampus Menjadi Pabrik dan Dosen Berubah Menjadi Makelar

Kasus sindikat ijazah instan di Garut, yang melibatkan dua PNS, dua advokat, 42 guru SD, dan belasan dosen, adalah ilustrasi menyedihkan. Dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi penjaga paling suci integritas bangsa, justru ikut merayakan pesta gelap ini. Jika para pendidik dasar saja masuk dalam jaringan sindikat ini, bagaimana masa depan murid-murid yang belajar dari mereka?

Bahkan di universitas besar pun, celah-celah administrasi dimanfaatkan dengan keahlian kriminal. Kasus dosen yang bekerja bertahun-tahun dengan ijazah palsu di Universitas Bengkulu adalah bukti paling keras. Orang itu mengajar mata kuliah, menilai skripsi, dan memeriksa ujian padahal ia sendiri tidak pernah melalui proses menjadi sarjana. 

Jika seorang dosen palsu bisa lolos sedemikian lama, bagaimana dengan pegawai kampus lain? Bagaimana dengan ribuan lulusan yang telah bertahun-tahun memegang ijazah yang tidak diuji keasliannya?

Kampus yang seharusnya menjadi benteng terakhir kebenaran berubah menjadi pasar sunyi yang rikuh. Di ruang-ruang administrasi, stempel fakultas bisa dipinjam atau disewa tanpa ada rasa bersalah.

Sindikat pemalsuan ijazah ini beroperasi dengan profesionalisme yang menggelikan sekaligus mengerikan. Mereka memiliki desainer grafis yang mampu meniru setiap detail kertas keamanan. Mereka punya akses ke pegawai kampus yang mau “meminjamkan” nomor induk mahasiswa lama. 

Mereka menggunakan mesin pencetak dengan tinta dan emboss khusus agar hasilnya terlihat alami. Template tanda tangan rektor dan dekan mereka miliki, lengkap dengan variasi tekanan tinta. Mereka bahkan menggunakan WhatsApp Business dan berani memberikan “garansi keaslian.”

Di beberapa daerah, polisi mendapati sindikat ini bahkan memberi diskon untuk pembelian dua gelar sekaligus. Promosi mereka kira-kira begini: “Ambil S2 sekalian S3, Pak. Jadi paket.” 

Para pembeli datang dari berbagai lapisan masyarakat: calon guru, karyawan swasta, pejabat daerah, hingga tokoh masyarakat yang ingin dihormati sebagai “doktor.” Dalam satu kasus, ironisnya, seorang tokoh agama membeli gelar doktor untuk meningkatkan tarif ceramahnya.

Penyandera Dokumen yang Belum Tentu Asli

Lebih ironis lagi, perusahaan-perusahaan tertentu justru bertindak sebagai petugas keamanan ijazah dengan cara yang melanggar hukum: menahan ijazah asli karyawan. Praktik ini dilakukan seolah-olah ijazah adalah sertifikat rumah yang dapat dijadikan jaminan kredit, menahan pekerja dalam ketakutan takut kehilangan pekerjaan, takut tidak menerima gaji terakhir, takut dituduh mangkir.

Surabaya sudah membongkar belasan kasus, tetapi seluruh Jawa masih menyimpan ratusan kasus serupa, yang sebagian besar tidak pernah dilaporkan.

Ada pula yang lebih lucu sekaligus tragis: beberapa ijazah yang ditahan perusahaan ternyata adalah ijazah palsu. Dengan demikian, perusahaan telah menyandera dokumen yang sejak awal tidak pernah memiliki nilai akademik.

Kenapa semua ini terjadi? Jawabannya adalah karena negara membangun birokrasi yang mengukur kecakapan dengan selembar kertas, bukan dengan kemampuan nyata. Sistem verifikasi ijazah masih bergantung pada arsip manual, lembaran registrasi, dan tanda tangan pejabat yang rentan ditiru. 

Tidak adanya database nasional yang terintegrasi menjadi celah besar. Kampus juga tidak memiliki sistem keamanan dokumen yang memadai. Intinya, birokrasi mengajarkan bahwa gelar adalah syarat jabatan, bukan syarat kemampuan. 

Di sisi lain, hukuman terhadap para pemalsu masih terlalu ringan untuk menghentikan bisnis ilegal ini. Dan terutama, kita hidup dalam masyarakat yang lebih percaya pada gelar daripada pada isi kepala seseorang.

Bayangkan sepuluh tahun ke depan: seorang pejabat pemerintah membuat keputusan strategis berbekal gelar palsu. Seorang dokter beroperasi dengan ijazah hasil cetakan. Seorang dosen menguji mahasiswa dengan status akademik yang tidak pernah dimilikinya. 

Guru-guru yang mengajar anak-anak kita adalah pemegang ijazah pesan hitam. Manajer perusahaan mengambil keputusan penting berdasarkan otoritas gelar yang tidak pernah dipelajari.

Jika negara tidak bergerak cepat, Indonesia bukan hanya dipenuhi sarjana gadungan tetapi juga akan memiliki masa depan yang gadungan. Dan ketika pendidikan runtuh, sebuah bangsa tidak butuh musuh. Ia akan runtuh oleh kebohongan yang dipelihara sendiri.

 

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Padang just now

Welcome to TIMES Padang

TIMES Padang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.