TIMES PADANG, PADANG – Seorang ibu rumah tangga di Depok masih ingat betul kekecewaannya ketika membeli peralatan rumah tangga lewat platform e-commerce awal tahun ini. Barang yang diterima cacat, pengaduan ke penjual diabaikan, sementara aplikasi hanya memberi jawaban otomatis: “Sedang diproses”.
Berbulan-bulan menunggu, masalah tak kunjung selesai. Kasus serupa dialami ribuan konsumen lain: uang yang digelontorkan tak sebanding dengan perlindungan hukum yang mereka terima.
Kisah itu hanyalah satu potret lemahnya mekanisme penyelesaian sengketa konsumen di Indonesia. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dibentuk lewat UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sejatinya disiapkan untuk menjadi garda depan penyelesaian sengketa non-litigasi.
Namun, laporan YLKI menunjukkan bahwa efektivitas BPSK masih jauh dari ideal: akses terbatas, prosedur berbelit, hingga minimnya sosialisasi membuat lembaga ini seakan hanya nama.
Di sisi lain, jalur pengadilan pun tak ramah konsumen kecil. Biaya tinggi, waktu panjang, dan kerumitan administrasi sering membuat konsumen mundur sebelum berperkara. Celah inilah yang mulai diisi oleh gagasan baru: media kolaboratif dalam penyelesaian sengketa konsumen.
Dari Konfrontasi ke Kolaborasi
Selama ini, pola penyelesaian sengketa konsumen identik dengan konfrontasi: konsumen melawan pelaku usaha, arbitrase melawan pengadilan, regulator melawan korporasi. Padahal, sengketa konsumen tidak selalu bermula dari niat buruk pelaku usaha. Kerap kali, masalah muncul karena misinformasi, keterlambatan distribusi, atau kelalaian teknis.
Pendekatan kolaboratif menawarkan jalan tengah. Alih-alih sekadar mencari siapa salah siapa benar, media kolaboratif mendorong win-win solution. Konsumen diberi ruang untuk menyampaikan keluhan secara jujur, pelaku usaha diberi kesempatan memperbaiki layanan tanpa stigma “kalah”, sementara mediator independen menjaga agar proses berlangsung transparan.
Model seperti ini mulai diuji coba dalam beberapa platform digital. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) misalnya, meluncurkan aplikasi Portal Perlindungan Konsumen yang memungkinkan konsumen perbankan dan fintech melaporkan masalah secara langsung.
Di sana, konsumen, pelaku usaha, dan regulator duduk dalam ruang komunikasi yang sama. Sengketa yang dulu bisa berlarut hingga berbulan-bulan, kini kerap selesai dalam hitungan minggu.
Menjembatani Kesenjangan Kekuatan
Dalam relasi konsumen dan pelaku usaha, ketimpangan kekuatan jelas terlihat. Korporasi besar punya divisi hukum, konsumen kecil hanya bersandar pada suara sendiri.
Di sinilah media kolaboratif berperan. Ia menjadi ruang negosiasi yang lebih seimbang: konsumen tak perlu berhadapan langsung dengan dominasi pelaku usaha, sementara pelaku usaha pun tidak serta-merta diposisikan sebagai “tertuduh”.
Konsep ombudsman konsumen yang digagas beberapa LSM bisa menjadi inspirasi. Ombudsman tak sekadar mediator, melainkan juga pengawas independen yang memastikan kesepakatan dipatuhi kedua belah pihak. Mekanisme ini sudah jamak dipraktikkan di negara-negara Skandinavia, di mana penyelesaian sengketa konsumen kerap selesai tanpa perlu masuk pengadilan.
Kasus gagal bayar asuransi unit link pada 2020 menjadi titik balik penting. Ribuan konsumen merasa dirugikan karena janji hasil investasi tak sesuai kenyataan. Gugatan class action muncul, demonstrasi digelar di depan kantor pusat asuransi.
OJK lalu menginisiasi forum bersama konsumen, perusahaan, dan mediator independen. Hasilnya, sebagian besar konsumen bisa menarik dana secara bertahap, sementara perusahaan diberi kesempatan memperbaiki tata kelola tanpa harus bangkrut.
Contoh itu menunjukkan, kolaborasi tidak selalu berarti konsumen mengalah. Justru, lewat tekanan moral dan fasilitasi institusi, konsumen mendapat haknya, dan pelaku usaha menjaga reputasinya.
Mengikat dengan Regulasi
Meski menjanjikan, media kolaboratif tak akan berjalan tanpa dasar hukum yang jelas. UU Perlindungan Konsumen saat ini belum secara eksplisit menyebut mekanisme kolaboratif sebagai jalur penyelesaian sengketa. Begitu pula BPSK, yang masih terjebak dalam prosedur formal quasi peradilan.
Revisi regulasi perlu memberi ruang bagi model penyelesaian berbasis kolaborasi. Misalnya, dengan mengatur platform digital mediasi konsumen, kewajiban pelaku usaha menyediakan kanal penyelesaian sengketa yang transparan, dan pengakuan legal atas hasil mediasi sebagai dokumen yang mengikat. Tanpa itu, media kolaboratif hanya akan jadi jargon, bukan solusi nyata.
Peran Media Massa
Tak kalah penting adalah peran media massa. Sengketa konsumen kerap senyap jika tak diliput. Padahal, sorotan publik bisa menjadi tekanan bagi pelaku usaha untuk menyelesaikan masalah secara elegan.
Media kolaboratif bisa melibatkan jurnalis sebagai penghubung, bukan sekadar pelapor. Dengan menyajikan data objektif, media menjaga agar konsumen tidak diperlakukan semena-mena, sekaligus memastikan pelaku usaha tak menjadi kambing hitam tanpa bukti.
Tentu, media kolaboratif bukan obat mujarab. Masih ada risiko: mediator tak independen, konsumen pasif, atau pelaku usaha enggan terbuka. Namun, di tengah keterbatasan jalur litigasi dan kerapuhan BPSK, model ini menjadi jembatan yang layak diperjuangkan.
Kembali ke ibu rumah tangga di Depok tadi. Setelah menulis pengaduan di forum konsumen digital yang dikelola Kementerian Perdagangan, kasusnya akhirnya selesai. Penjual diminta mengganti barang, platform e-commerce menjamin ongkos kirim, dan konsumen bisa tersenyum lega.
Sengketa konsumen mestinya tak perlu selalu berakhir di meja hijau. Jika kolaborasi dijadikan jalan, konsumen tak lagi jadi pihak yang selalu kalah, dan pelaku usaha tak perlu takut reputasi runtuh hanya karena sebuah kesalahan teknis.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |