TIMES PADANG, PADANG – Kabar mengenai potensi fleksibilitas kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di Indonesia menggema dari Istana. Presiden terpilih Prabowo Subianto telah memberi sinyal kesediaan untuk meninjau ulang kebijakan yang selama ini menjadi andalan pemerintah dalam mendorong industrialisasi.
Pernyataan ini sontak menarik perhatian, terutama mengingat Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) kerap menyoroti TKDN sebagai salah satu hambatan perdagangan bagi produk mereka.
TKDN, yang mewajibkan produk-produk yang dijual di pasar Indonesia memiliki persentase komponen produksi lokal tertentu, merupakan instrumen strategis untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kapasitas industri nasional, dan mengurangi ketergantungan impor.
Kebijakan ini, yang berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri, selama ini menjadi pilar penting bagi kemandirian ekonomi.
Namun, implementasinya tersebar dalam berbagai Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri (Permen) yang spesifik untuk setiap sektor.
Ragam Aturan, Bobot Berbeda
Penghitungan nilai TKDN suatu produk didasarkan pada perbandingan biaya komponen dalam negeri terhadap total biaya produksi. Biaya ini mencakup material langsung, tenaga kerja langsung, biaya pabrik tidak langsung, hingga aspek pengembangan seperti riset dan pengembangan (R&D) serta desain di dalam negeri.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menetapkan standar minimum nilai TKDN, setidaknya 25% untuk produk dalam negeri yang wajib digunakan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Namun, persentase ini bisa melonjak jauh lebih tinggi, disesuaikan dengan urgensi dan karakteristik industri terkait.
Dua lembaga surveyor independen, yakni PT Surveyor Indonesia dan PT Sucofindo (Persero), bertanggung jawab memverifikasi dan mengeluarkan sertifikat TKDN yang berlaku selama tiga tahun. Ini menjamin akuntabilitas dalam proses penilaian.
Aturan TKDN memang sangat bervariasi, mencerminkan pendekatan pemerintah yang disesuaikan dengan tingkat kematangan dan potensi setiap sektor. Ambil contoh di industri elektronika dan telekomunikasi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 22 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Produk Elektronika dan Telematika, serta didukung oleh Permenkominfo Nomor 12 Tahun 2019 dan Nomor 13 Tahun 2021, produk smartphone dengan teknologi 4G/5G wajib memiliki nilai TKDN minimal 35%. Ini adalah upaya serius untuk mendorong manufaktur lokal di sektor yang sangat dinamis ini.
Di sektor alat kesehatan (alkes), yang kini menjadi sorotan pascapandemi, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 31 Tahun 2022 menjadi panduan. Penghitungan TKDN Alkes memperhitungkan dua aspek: manufaktur dengan bobot 80% dan pengembangan dengan bobot 20%. Tujuannya jelas, mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat kemandirian kesehatan nasional.
Sektor energi, termasuk ketenagalistrikan, juga memiliki aturan TKDN yang spesifik. Contohnya, untuk Modul Surya, diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 34 Tahun 2024. Nilai TKDN minimum bervariasi drastis, misalnya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bisa mencapai 27,18% untuk kapasitas hingga 600 MW.
Sementara untuk saluran udara tegangan tinggi 150 kilovolt dalam jaringan transmisi, bisa mencapai 65,65%. Ini menunjukkan detail pemerintah dalam mendorong TKDN pada setiap mata rantai infrastruktur energi.
Yang tak kalah penting adalah peran TKDN dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (yang terakhir diubah dengan Perpres Nomor 46 Tahun 2025) secara eksplisit mewajibkan penggunaan produk dengan nilai TKDN tinggi.
Jika penjumlahan skor TKDN dan Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) lebih dari 40%, pemerintah wajib memprioritaskan pembelian produk dengan TKDN di atas 25%.
Mencari Titik Seimbang
Sinyal fleksibilitas dari Presiden Prabowo Subianto ini membuka ruang interpretasi yang luas. Apakah ini berarti akan ada peninjauan ulang persentase minimum TKDN untuk beberapa sektor? Atau mungkin pemerintah akan menawarkan insentif yang lebih menarik bagi investor yang bersedia mentransfer teknologi dan meningkatkan kapasitas produksi di Indonesia, sebagai kompensasi atas kelonggaran TKDN?
Langkah ini menunjukkan upaya Indonesia untuk menavigasi kompleksitas perdagangan global. Di satu sisi, pemerintah ingin melindungi dan memperkuat industri dalam negeri.
Di sisi lain, Indonesia juga harus menjaga daya saing dan menarik investasi asing yang krusial bagi pertumbuhan ekonomi, tanpa memicu friksi dagang.
Bagaimana fleksibilitas ini akan diterjemahkan dalam regulasi konkret, tentu menjadi hal yang patut dinanti dari pemerintahan baru. Sebuah keputusan yang akan menentukan arah kebijakan industri dan perdagangan Indonesia ke depan.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |