TIMES PADANG, PADANG – Di banyak perguruan tinggi Indonesia, terdapat sebuah ironi yang makin kuat terasa: kewajiban dosen untuk menulis artikel ilmiah tidak lagi sekadar upaya berbagi pengetahuan, tetapi telah berubah menjadi kewajiban untuk menulis di jurnal yang terindeks Scopus.
Bahkan di sejumlah kampus, tunjangan kinerja dipotong bila dosen tidak memiliki publikasi Scopus dalam satu tahun. Kewajiban akademik yang seharusnya menjadi pendorong kreativitas, inovasi, dan kontribusi keilmuan berubah menjadi beban administratif yang membuat Scopus perlahan disembah layaknya berhala baru.
Padahal, Scopus hanyalah sebuah database pengindeks jurnal. Namun dalam praktiknya, banyak kampus memperlakukannya sebagai satu-satunya penentu kualitas riset. Dosen yang menulis buku, mempublikasikan laporan kebijakan, menghasilkan inovasi teknologi, melakukan penelitian lapangan tentang isu lokal, atau membangun kemitraan dengan masyarakat tidak jarang dianggap kurang berharga jika tidak menghasilkan artikel Scopus.
Akibatnya, riset tidak lagi berorientasi pada kebutuhan bangsa, tetapi justru pada pemenuhan kewajiban administratif yang kering makna. Banyak dosen akhirnya mengejar publikasi bukan karena dorongan intelektual, tetapi karena takut tunjangan dipotong.
Tekanan tersebut kemudian melahirkan sebuah ekonomi baru yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya: bisnis publikasi. Layanan percepatan publikasi, konferensi berbayar, hingga jurnal predator muncul memanfaatkan kecemasan akademik yang memuncak. Di ruang-ruang percakapan dosen, istilah “mafia Scopus” mulai terdengar, menggambarkan jaringan jasa dan perantara yang menawarkan jalan pintas ke publikasi.
Tidak sedikit dosen yang terpaksa mengeluarkan biaya jutaan untuk menerbitkan artikel hanya demi memenuhi target institusi. Situasi ini menunjukkan betapa jauh sistem kita telah bergeser, hingga sebuah indeks berubah menjadi komoditas dan ritual yang harus ditaati.
Fenomena serupa juga tampak di BRIN. Sebagai lembaga riset nasional, BRIN menerapkan standar publikasi yang sangat bergantung pada jurnal bereputasi internasional seperti Scopus dan Web of Science. Penilaian kinerja, kenaikan jenjang, hingga evaluasi peneliti kerap mengharuskan publikasi di jurnal Q1 atau Q2.
Meskipun standar internasional tentu penting bagi reputasi sains Indonesia, kenyataannya banyak riset yang relevan bagi kebutuhan bangsa seperti teknologi tepat guna, inovasi lokal, kajian kebijakan, hingga pendokumentasian pengetahuan masyarakat tidak selalu cocok dengan format publikasi internasional tersebut. Namun karena tidak masuk Scopus, riset-riset itu sering dianggap kurang bernilai.
Dalam konteks ini, kita kembali diingatkan pada slogan yang kini banyak dikampanyekan oleh perguruan tinggi: kampus berdampak. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: dampak bagi siapa? Apakah dampak itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat, atau hanya terlihat sebagai angka publikasi yang memuaskan dashboard rektorat?
Kampus berdampak seharusnya menghadirkan solusi nyata bagi persoalan publik energi, lingkungan, pendidikan, kesehatan, pangan, hingga tata kelola desa. Dampak yang sejati bukanlah jumlah artikel yang terindeks; dampak adalah perubahan konkret yang dirasakan masyarakat.
Ironisnya, banyak riset yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk memberi manfaat sosial justru terpinggirkan karena tidak “Scopus-able”. Inovasi sederhana yang dibutuhkan desa, riset kebijakan untuk pemerintah daerah, dokumentasi pengetahuan lokal, hingga teknologi kecil yang dapat meningkatkan produktivitas UMKM semuanya kurang dihargai karena tidak menghasilkan angka publikasi internasional. Alhasil, kampus gagal menjalankan perannya sebagai agen perubahan, dan lebih sibuk mengejar indeks daripada menyelesaikan persoalan publik.
Kecanduan terhadap Scopus telah menimbulkan dampak yang merayap dalam dunia akademik: homogenisasi riset, menurunnya kualitas pengajaran karena dosen lebih sibuk mengejar publikasi daripada mempersiapkan materi kuliah, terputusnya hubungan antara riset dan kebutuhan masyarakat, serta stagnasi kreativitas karena semua orang cenderung memilih topik yang aman dan mudah dipublikasikan secara internasional.
Situasi ini menunjukkan bahwa kita telah kehilangan orientasi. Kita lupa bahwa misi utama kampus bukanlah meningkatkan angka-angka di sistem pengindeks internasional, melainkan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sudah waktunya perguruan tinggi dan lembaga riset nasional kembali ke akal sehat akademik. Scopus tentu penting sebagai salah satu indikator, tetapi tidak boleh diperlakukan sebagai satu-satunya bukti kualitas.
Yang jauh lebih penting adalah relevansi riset, integritas ilmiah, kemampuan mengajar, kontribusi kebijakan, inovasi teknologi, dan perubahan nyata yang dirasakan masyarakat. Kampus berdampak tidak diukur dari jumlah publikasi Scopus, tetapi dari seberapa besar kampus mampu memecahkan persoalan publik.
Saat kita terlalu sibuk menyembah berhala Scopus, kita kehilangan esensi dari aktivitas akademik itu sendiri. Sudah waktunya kita berhenti memuja indeks, dan kembali memuliakan pengetahuan.
***
*) Oleh : Dr. Nofi Yendri Sudiar, M.Si. Dosen Fisika, Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs, Ketua tim UI GreenMetric UNP sekaligus Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |