https://padang.times.co.id/
Opini

Wajah Lain Industri Kecantikan

Selasa, 17 Juni 2025 - 00:40
Wajah Lain Industri Kecantikan Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

TIMES PADANG, PADANG – Angka-angkanya memang memukau. Nilai pasar industri kosmetik Indonesia diperkirakan tembus Rp100 triliun pada 2025. Pertumbuhan tahunan yang konsisten, menjamurnya merek lokal, ledakan penjualan daring, hingga deretan kampanye ‘natural beauty’ dan ‘self love’ membuat industri ini tampak gemerlap. 

Di balik wajah yang ‘glowing’ itu, tersimpan persoalan yang tak kalah serius: eksploitasi psikologis, regulasi yang lemah, dan normalisasi kecantikan sebagai komoditas massal.

Industri kosmetik bukan sekadar soal krim wajah dan lipstik. Ia adalah sistem ekonomi yang kompleks-terhubung dengan logistik, farmasi, periklanan, algoritma media sosial, bahkan pendidikan gender. Dalam sistem ini, tubuh perempuan menjadi ladang yang terus digarap. Ia dibentuk, dipoles, dan dinilai melalui lensa pasar.

Pemerintah menyambut industri ini dengan antusias. Kementerian Perindustrian memasukkan kosmetik sebagai salah satu subsektor prioritas dalam roadmap Making Indonesia 4.0. 

Merek lokal seperti Wardah, Somethinc, Avoskin, dan MS Glow dielu-elukan sebagai bukti kebangkitan industri halal dan UMKM digital. Tapi di tengah euforia ini, ada yang luput dibahas: apa dampaknya terhadap cara kita memandang tubuh, terutama tubuh perempuan?

Salah satu yang paling mencolok adalah semakin dalamnya cengkeraman industri terhadap standar kecantikan. Dari dulu, iklan kosmetik tak hanya menjual produk-mereka menjual kekurangan. 

Kulitmu belum cukup putih, pori-porimu terlalu besar, pipimu terlalu bulat, alismu kurang rapi, dan bibirmu tak cukup merah. Setelah kegelisahan itu ditanamkan, barulah produk muncul sebagai “jawaban”.

Kini, narasinya bergeser. Dari “cantik itu putih” menjadi “cantik itu percaya diri.” Tapi inti retorikanya tetap: kamu butuh produk untuk mencintai diri sendiri. Self-love, dalam logika industri, bukan proses personal yang organik, tapi hasil dari konsumsi. Kamu mencintai dirimu karena kamu membeli, bukan sebaliknya.

Fenomena ini juga dimanfaatkan oleh para selebritas dan influencer yang meluncurkan lini kosmetik pribadi. Produk bukan hanya soal manfaat, tapi identitas. 

Menggunakan lipstik artis A atau serum influencer B membuat kita merasa terkoneksi dengan citra yang mereka tampilkan-meskipun citra itu dibentuk oleh tim kreatif, filter, dan retouch profesional.

Platform digital memperparah tekanan ini. Algoritma media sosial, terutama TikTok dan Instagram, memperkuat visual yang seragam: kulit mulus, hidung mancung, bibir tebal, tubuh langsing tapi berisi. 

Perempuan muda tumbuh dengan membandingkan dirinya dengan versi ideal yang tak nyata. Banyak yang merasa tak nyaman tampil tanpa filter. Tubuh nyata jadi asing di hadapan kamera.

Industri menyasar semua segmen. Anak-anak remaja kini sudah punya skincare routine. Pria menjadi pasar baru: krim pemutih, pomade, parfum maskulin. Bahkan produk bayi pun dikemas agar si kecil “cerah” dan “harum lembut”. Tidak ada satu pun celah tubuh yang luput dari potensi monetisasi.

Lebih problematis, regulasi tak selalu secepat penetrasi pasar. Badan POM memang punya sistem notifikasi produk kosmetik. Tapi verifikasi kandungan berbahaya, klaim produk, hingga iklan daring masih sering longgar. 

Tak sedikit produk yang menjanjikan hasil instan, tanpa dasar ilmiah. Bahan-bahan seperti merkuri, hidrokuinon, dan steroid kerap ditemukan pada krim pemutih ilegal-yang ironisnya tetap laku keras.

Kampanye edukasi konsumen memang dilakukan, tapi kalah gencar dibanding iklan yang berseliweran setiap detik di ponsel. Perempuan, terutama di daerah dan kelas pekerja, sering kali menjadi korban janji palsu kecantikan. Mereka membeli harapan dalam kemasan, dan membayar mahal, baik secara ekonomi maupun kesehatan kulit.

Di sisi lain, pemerintah gencar mempromosikan kosmetik lokal sebagai bagian dari ekonomi halal. Tapi pembahasan soal etika pemasaran dan standar keadilan sosial dalam industri ini nyaris absen. 

Tak ada diskusi serius tentang bagaimana iklan kosmetik berkontribusi terhadap krisis kepercayaan diri kolektif perempuan. Tak ada kajian yang menjelaskan bagaimana industri ini mendikte alokasi belanja rumah tangga atau mendorong utang konsumtif demi memenuhi standar penampilan.

Belum lagi soal limbah. Industri kosmetik adalah salah satu penyumbang mikroplastik dan sampah kemasan terbanyak di dunia. Dari botol serum mungil hingga sachet krim wajah, sebagian besar tak bisa terurai. 

Banyak produk diklaim “ramah lingkungan”, tapi tanpa standar yang jelas. Sementara itu, tekanan untuk terus belanja tak pernah surut. Ada launching baru tiap bulan, ada diskon tiap pekan, ada tren tiap hari.

Maka, glowing-nya industri kosmetik nasional memang layak diapresiasi dari sisi ekonomi. Ia menyerap tenaga kerja, mendongkrak ekspor, dan menghidupkan UMKM. Tapi euforia ini perlu dikawal oleh kesadaran kritis. 

Kita perlu memastikan bahwa pertumbuhan ini tidak dibayar dengan makin dalamnya luka psikis, pencemaran lingkungan, dan pembentukan identitas berbasis konsumsi. Cantik seharusnya bukan proyek industri, tapi pengalaman personal yang bebas dari tekanan pasar. 

Tubuh perempuan bukan ladang yang bisa dieksploitasi terus-menerus demi target penjualan. Dan self-love bukan sekadar slogan iklan, melainkan hak untuk merasa cukup, bahkan tanpa membeli apa-apa.

Karena sesungguhnya, yang paling perlu dibersihkan dari wajah industri kosmetik adalah narasi palsu bahwa kebahagiaan bisa dibeli dalam botol 20 mililiter.

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Padang just now

Welcome to TIMES Padang

TIMES Padang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.