https://padang.times.co.id/
Opini

Asyura dalam Tradisi Kemanusiaan

Senin, 07 Juli 2025 - 03:30
Asyura dalam Tradisi Kemanusiaan Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

TIMES PADANG, PADANG – Tahun ini, tanggal 6 Juli 2025 bertepatan dengan 10 Muharram 1447 Hijriah, hari yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai Hari Asyura. Bagi sebagian umat Muslim, Asyura adalah hari penuh hikmah, penanda sejarah, dan juga ruang reflektif bagi kemanusiaan. 

Di Indonesia, meskipun tidak seramai Idul Fitri atau Maulid Nabi, Asyura tetap memiliki makna mendalam, terutama di kalangan masyarakat yang memelihara tradisi dan pemahaman keislaman secara historis dan spiritual.

Secara etimologis, "Asyura" berasal dari kata "'asyara" yang berarti sepuluh-merujuk pada tanggal 10 di bulan Muharram. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan menganjurkan umat Islam untuk melakukannya. 

Tradisi ini merupakan kelanjutan dari praktik puasa kaum Yahudi di Madinah saat itu, sebagai penghormatan atas keselamatan Nabi Musa dan Bani Israel dari kejaran Firaun. 

Rasulullah bersabda, "Saya lebih berhak terhadap Musa daripada mereka," lalu beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya berpuasa di hari itu.

Namun Asyura bukan hanya tentang Musa dan Firaun. Dalam perkembangan sejarah Islam, terutama dalam perspektif Syiah, hari ini dikenang sebagai hari gugurnya cucu Nabi, Husain bin Ali, di Padang Karbala pada tahun 680 M. 

Peristiwa ini menjadi duka mendalam yang setiap tahun diperingati oleh kaum Syiah sebagai momentum kesyahidan, keteguhan iman, dan perlawanan terhadap tirani. 

Di Indonesia, kelompok Syiah memperingati hari ini dengan pembacaan kisah Karbala, doa, dan ritual kesedihan yang khusyuk.

Di luar narasi tragedi Karbala, masyarakat Muslim Indonesia terutama yang mengikuti mazhab Sunni lebih menekankan aspek spiritual dan sosial dari Asyura. Salah satu anjuran utama adalah menjalankan puasa sunnah. 

Bahkan, dalam hadis lain disebutkan keutamaan puasa Asyura dapat menghapuskan dosa-dosa kecil selama setahun sebelumnya. Ada pula anjuran untuk berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram atau 10 dan 11, sebagai bentuk ikhtilaf dari puasa Yahudi dan sebagai sunnah Nabi.

Asyura juga menjadi momentum beramal. Ulama-ulama Nusantara dahulu menganjurkan masyarakat untuk memperbanyak sedekah, memuliakan anak-anak yatim, dan membantu fakir miskin di hari itu. Beberapa komunitas Islam tradisional bahkan mengadakan pengajian, tahlilan, dan pembacaan kisah para nabi dan syuhada. 

Dalam sebagian budaya lokal seperti di Sumatera Barat dan Aceh, Hari Asyura sering dirayakan dengan membuat makanan khas bernama bubur Asyura, yang dibagikan kepada tetangga dan masyarakat sebagai bentuk solidaritas dan keberkahan.

Bubur Asyura itu sendiri sarat makna. Terbuat dari beragam bahan seperti beras, kacang-kacangan, jagung, kelapa, dan sayuran, bubur ini mencerminkan semangat gotong-royong, kebersamaan, dan berbagi rezeki. 

Dalam satu panci, terkandung filosofi tentang keragaman yang berpadu dan nilai sosial yang tumbuh dari dapur ke hati masyarakat.

Meski tak dijadikan hari libur nasional, Asyura memiliki tempat tersendiri dalam jiwa umat Islam Indonesia. Ia bukan hanya momen ritual, tetapi ajakan untuk meneladani kesabaran Nabi Musa, pengorbanan Sayyidina Husain, serta semangat sosial yang dibangun oleh masyarakat Muslim Nusantara.

Di tengah dunia yang semakin terpecah oleh konflik dan ketimpangan sosial, peringatan Asyura seharusnya menjadi ruang renung. Bahwa sejarah Islam tak lepas dari perjuangan melawan ketidakadilan, dari keteguhan prinsip dalam menghadapi kekuasaan yang zalim, hingga keberanian bersuara meski nyawa menjadi taruhannya.

Spirit Karbala, dalam konteks modern, mengingatkan kita bahwa membela nilai-nilai kebenaran sering kali menuntut keberanian luar biasa.

Namun tentu, semangat Asyura tak boleh berhenti pada ritual dan simbol. Ia harus meresap dalam praktik kehidupan sehari-hari: dalam ketegasan moral menghadapi korupsi, dalam kepedulian terhadap kaum lemah, dalam keberanian menegakkan keadilan meski harus berhadapan dengan kekuasaan.

Asyura juga menjadi kesempatan bagi kita untuk lebih memahami perbedaan perspektif dalam Islam, antara narasi Sunni dan Syiah, tanpa saling mencurigai. Karena pada dasarnya, semua memuliakan figur-figur yang sama: Musa, Muhammad, Husain, dan nilai-nilai tauhid, keadilan, dan kasih sayang.

6 Juli 2025, saat kalender hijriah dan masehi kembali berjumpa dalam perayaan Asyura, menjadi momentum yang tepat untuk merajut kembali benang-benang spiritualitas dan sosial yang sering putus di tengah kehidupan modern yang sibuk dan sekular. 

Mari menjadikan Asyura sebagai peringatan yang bukan sekadar hari, tapi jalan untuk merawat nilai-nilai yang abadi: keberanian, kepedulian, dan cinta pada kebenaran.

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Padang just now

Welcome to TIMES Padang

TIMES Padang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.