TIMES PADANG, PADANG – Drama ijazah Presiden Joko Widodo agaknya tak mengenal jeda apalagi tamat. Bak sinetron kolosal, episode perdebatan antara kubu yang meyakini "99,9 persen palsu" melawan barisan yang bersumpah "100 persen asli" terus memanaskan ruang publik.
Roy Suryo dan kawan-kawan, meskipun kini didera status tersangka dan dicekal ke luar negeri karena tuduhan pencemaran nama baik, tampak ogah mengibarkan bendera putih. Mereka terus melawan, menolak mediasi, dan bahkan mengajukan gelar perkara khusus di Polda Metro Jaya.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, telah bergabung dalam barisan hukum mereka, menegaskan bahwa keaslian ijazah harus dibuktikan terlebih dahulu sebelum menjerat penuding dengan pasal pidana.
Di sisi lain, loyalis Istana juga tak kalah garang. Sumpah serapah, bahkan tantangan buka baju, menjadi bumbu yang makin membuat drama ini terasa hambar di lidah akal sehat. Sampai kapan pentas ini berlangsung? dan apa yang tersisa jika gugatan itu terbukti benar?
Mari kita singkirkan dulu aroma politik dan menoleh ke ruang sidang. Andai kata sebuah pengandaian yang pahit ijazah orang yang pernah menjadi tokoh nomor satu republik ini terbukti rekayasa, maka hukum pidana segera menarik pelatuknya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah menyediakan pasal-pasal untuk pemalsuan dokumen dan penggunaannya.
Ini bukan sekadar urusan fotokopian yang pudar, melainkan dugaan tindak pidana yang melibatkan dokumen negara. Unsur-unsur pidana menanti untuk dirangkai: barang bukti, motif, dan tentu saja, pelaku. Jika palu hakim benar-benar mengkonfirmasi kepalsuan, proses hukum tak terhindarkan.
Pembuat, yang menyerahkan, dan yang menggunakan, semuanya bisa terseret. Namun, yang jauh lebih dahsyat dari jeruji besi personal adalah efek riak politik yang akan menyapu seluruh fondasi kekuasaan.
Kontrasnya, saat ini justru pihak penuntut yang dikejar oleh pasal-pasal pidana. Bagi mereka, ini adalah kriminalisasi terhadap upaya mengungkap kebenaran. Bagi pihak Istana, ini adalah langkah menjaga reputasi dari serangan fitnah.
KPU dan Arsip yang Hilang
Dampak politiknya, sungguh, bagai tsunami. Partai politik yang mengusung Jokowi akan dipertanyakan validitas proses verifikasi mereka. Sorotan ini bisa menjadi bom waktu reputasi yang meledak jelang kontestasi politik berikutnya.
Yang tak kalah penting adalah sorotan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lembaga ini memiliki kewenangan dan tanggung jawab memverifikasi syarat pencalonan, sehingga kecolongan sebesar ini akan diartikan sebagai kegagalan sistemik.
Isu dugaan pemusnahan arsip pencalonan Jokowi sebagai Wali Kota Solo di KPU Solo pun sempat mencuat, meskipun KPU Pusat mengklarifikasi bahwa yang dimusnahkan hanya buku registrasi, bukan dokumen syarat pencalonan itu sendiri.
Namun, perdebatan mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Oegroseno yang menyebut bahwa jika ijazah terbukti palsu, bukan hanya pemilik ijazah yang bisa jadi tersangka, tetapi juga tiga ketua KPU yang terlibat dalam proses verifikasi, menunjukkan betapa luasnya dampak politis dan hukum yang mengintai.
Perdebatan kini tidak hanya diwarnai argumen jalanan, tetapi sudah masuk ke ranah hukum informasi publik. Kelompok yang menamakan diri Bongkar Ijazah Jokowi (Bonjowi) telah mengadukan masalah ini ke Komisi Informasi Pusat (KIP), menuntut transparansi data.
Di meja sengketa KIP, Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapat sorotan tajam. Bonjowi menyebut kinerja UGM mengecewakan karena tata kelola data pendidikan Jokowi dinilai semrawut.
Mereka mencatat bahwa UGM sempat memberikan surat jawaban tanpa kop surat dan tanpa tanda tangan. Pihak kampus juga menyatakan beberapa dokumen penting, seperti Kartu Rencana Studi (KRS), tidak dalam penguasaannya.
Meskipun UGM telah berulang kali mengklarifikasi bahwa seluruh dokumen akademik Jokowi terdokumentasi dengan baik, dan teman seangkatan telah bersaksi mengenai keaslian ijazah, sorotan ini menciptakan keraguan baru, bukan lagi tentang dokumen itu sendiri, melainkan pada integritas tata kelola arsip di institusi pendidikan tinggi.
Istana di Pusaran Doktrin Hukum dan Reputasi
Lantas, bagaimana dengan produk hukum yang telah dihasilkan selama masa jabatannya? Hukum tata negara memiliki prinsip kontinuitas negara. Sebuah negara tidak boleh bubar atau produk hukumnya batal secara en masse hanya karena skandal personal seorang pemimpin.
Keputusan publik yang telah ditandatangani oleh Presiden, seperti perjanjian bilateral atau pengangkatan pejabat, akan tetap sah, sebab negara adalah subjek hukum internasional dan administrasi, bukan individu. Maka, secara legal-formal, struktur negara tetap berdiri, meskipun legitimasi politik sang pemimpin telah terkikis habis.
Namun, di tengah segala intrik dan kekhawatiran itu, hukum tetap harus berjalan. Negara mungkin tidak akan tumbang hanya karena satu lembar ijazah.
Siapa pun yang bermain-main dengan dokumen sakral negara, atau bahkan mereka yang terbukti sengaja menyebarkan informasi palsu, harus siap menerima konsekuensinya di balik jeruji besi.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |