TIMES PADANG, PADANG – Tahun politik selalu menjadi momen penuh janji-janji ambisius dari para kandidat. Tak terkecuali dalam hal isu lingkungan. Pada tahun politik 2024 ini, banyak politisi berlomba-lomba menyampaikan janji mereka untuk membawa perubahan besar dalam isu-isu lingkungan, seperti pengurangan emisi karbon, pelestarian hutan, hingga transisi energi terbarukan. Namun, di balik janji-janji "hijau" yang terdengar manis tersebut, apakah ada komitmen nyata yang dapat diwujudkan?
Isu lingkungan adalah salah satu isu paling mendesak saat ini. Dampak perubahan iklim dan degradasi lingkungan sudah dirasakan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dari banjir yang semakin sering terjadi, suhu udara yang semakin panas, hingga kebakaran hutan yang tak kunjung reda, semua ini menunjukkan bahwa keadaan lingkungan kita berada di titik yang mengkhawatirkan. Ketika para politisi menjanjikan program-program ramah lingkungan, masyarakat tentunya berharap adanya tindakan konkret untuk memperbaiki situasi ini.
Namun, realitas menunjukkan bahwa janji-janji tersebut kerap kali sulit diwujudkan setelah pesta demokrasi usai. Banyak rencana aksi yang hanya berhenti sebagai retorika tanpa implementasi. Salah satu alasannya adalah tekanan dari berbagai kepentingan lain, seperti ekonomi dan politik. Seringkali, proyek-proyek pembangunan skala besar yang tidak ramah lingkungan justru mendapatkan prioritas lebih karena dianggap memberikan dampak ekonomi yang lebih cepat. Ini menjadikan janji hijau para kandidat hanya sebatas kampanye untuk menarik perhatian pemilih yang semakin peduli terhadap isu lingkungan.
Minimnya pengawasan dan transparansi dalam implementasi kebijakan lingkungan merupakan masalah yang sangat mendasar dan sering kali menjadi penyebab utama kegagalan dalam mencapai target-target yang telah dicanangkan. Kebijakan-kebijakan yang tampak baik di atas kertas, seperti perlindungan hutan dan pengendalian emisi gas rumah kaca, memerlukan tindakan nyata di lapangan untuk benar-benar efektif. Sayangnya, di banyak kasus, penerapan kebijakan tersebut sering kali tidak disertai dengan sistem pengawasan yang ketat dan akuntabel.
Contoh nyata dari kelemahan ini dapat terlihat dalam kebijakan perlindungan hutan. Meskipun pemerintah menetapkan peraturan tegas untuk mencegah deforestasi, faktanya pembalakan liar dan perambahan hutan masih marak terjadi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan langsung di lapangan dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran.
Banyak pihak yang terlibat dalam eksploitasi hutan dapat dengan mudah lolos dari jeratan hukum, baik karena kurangnya deteksi atau karena adanya korupsi yang melibatkan oknum tertentu. Ketika pelanggaran-pelanggaran ini tidak dihadapi dengan sanksi yang tegas, kebijakan perlindungan hutan hanya menjadi formalitas belaka tanpa dampak nyata bagi lingkungan.
Selain itu, transparansi yang minim juga memperparah situasi. Masyarakat sering kali tidak mendapatkan akses informasi yang cukup mengenai perkembangan implementasi kebijakan lingkungan. Data-data penting seperti tingkat penurunan emisi gas rumah kaca, luasan hutan yang berhasil diselamatkan, atau angka-angka terkait program lingkungan lainnya, sering kali disembunyikan atau tidak dilaporkan dengan jelas.
Ketidaktransparanan ini membuat masyarakat sulit menilai sejauh mana janji-janji lingkungan yang disampaikan para politikus benar-benar diwujudkan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap komitmen para pemimpin dalam menjaga lingkungan semakin menurun.
Situasi ini tidak hanya menciptakan rasa skeptis di kalangan masyarakat, tetapi juga dapat menghambat partisipasi publik yang lebih luas. Ketika masyarakat melihat bahwa pelanggaran terhadap kebijakan lingkungan tidak mendapatkan tindakan yang layak, motivasi mereka untuk turut serta dalam upaya pelestarian lingkungan pun bisa menurun. Sikap ini dapat membahayakan keberlanjutan gerakan lingkungan yang seharusnya didukung oleh semua pihak.
Dengan kata lain, tanpa adanya pengawasan yang ketat dan transparansi dalam proses implementasi kebijakan lingkungan, semua janji yang diucapkan oleh para politisi hanya akan berakhir sebagai kata-kata kosong. Diperlukan keberanian untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan keterbukaan informasi agar masyarakat dapat memegang para pemimpin bertanggung jawab atas janji-janji hijau mereka. Jika tidak, target-target ambisius yang telah dicanangkan akan terus gagal, dan realitas kelabu akan tetap menghantui isu lingkungan di masa depan.
Namun, meskipun terdapat berbagai tantangan dalam penerapan kebijakan lingkungan, ada sisi positif yang bisa kita lihat, yaitu kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan yang terus meningkat. Masyarakat saat ini lebih peka dan peduli terhadap dampak-dampak lingkungan yang terjadi di sekitar mereka, seperti polusi udara, bencana alam yang terkait perubahan iklim, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Kesadaran ini memicu tuntutan yang lebih besar kepada para pemimpin politik untuk serius dalam menangani masalah lingkungan dan tidak hanya menggunakan isu ini sebagai alat kampanye semata.
Meningkatnya kesadaran publik menciptakan tekanan bagi para kandidat politik untuk tidak hanya mengumbar janji, tetapi juga memperlihatkan komitmen mereka secara konkret setelah terpilih. Dalam situasi ini, janji kosong semakin sulit diterima karena masyarakat lebih terinformasi dan mampu mengakses berbagai data serta fakta mengenai kondisi lingkungan. Para kandidat tidak lagi bisa bersembunyi di balik retorika tanpa tindakan karena masyarakat memiliki harapan yang lebih tinggi terhadap kinerja mereka dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kampanye lingkungan yang diusung oleh para kandidat perlu didukung dengan langkah nyata yang terlihat dalam implementasi kebijakan sehari-hari. Misalnya, penegakan regulasi terkait perlindungan lingkungan harus dilakukan dengan tegas, tanpa memandang kepentingan ekonomi atau politik tertentu.
Penegakan ini mencakup pemantauan ketat terhadap aktivitas industri yang mencemari lingkungan, pembatasan alih fungsi lahan hutan, serta pengendalian pembangunan yang mengancam ekosistem alam. Para pemimpin harus memastikan bahwa aturan-aturan yang dibuat benar-benar diimplementasikan dan pelanggaran ditindak dengan sanksi yang setimpal.
Selain itu, para kandidat perlu mendorong transisi energi terbarukan dengan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang mengembangkan teknologi ramah lingkungan. Kebijakan seperti subsidi untuk energi surya dan angin, insentif fiskal untuk perusahaan yang mengurangi emisi karbon, serta kemudahan perizinan bagi pengembangan energi hijau adalah langkah konkret yang dapat diambil untuk mewujudkan janji-janji hijau mereka. Kebijakan-kebijakan ini juga harus disertai dengan kampanye edukasi kepada masyarakat untuk mempromosikan penggunaan energi terbarukan di tingkat rumah tangga.
Tak kalah penting, peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim juga harus menjadi prioritas. Kandidat yang benar-benar berkomitmen terhadap isu lingkungan perlu mengembangkan program-program yang memberdayakan masyarakat agar mereka dapat beradaptasi dengan perubahan iklim.
Ini bisa dilakukan dengan menyediakan pelatihan terkait pertanian berkelanjutan, pemberdayaan komunitas untuk menjaga kelestarian sumber daya alam lokal, serta penguatan sistem peringatan dini untuk menghadapi bencana terkait iklim. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya menjadi penerima kebijakan, tetapi juga menjadi bagian aktif dari solusi.
Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan tuntutan yang lebih besar untuk tindakan nyata, tahun politik ini dapat menjadi momentum penting untuk mendorong perubahan dalam kebijakan lingkungan. Namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada kemampuan para kandidat dan pemimpin untuk tidak hanya berbicara, tetapi juga bekerja keras dalam mewujudkan janji-janji mereka. Jika para pemimpin mampu memenuhi harapan ini, maka bukan tidak mungkin kita akan melihat perbaikan yang signifikan dalam kondisi lingkungan di masa depan.
Tahun politik 2024 adalah kesempatan bagi para pemimpin untuk menunjukkan keseriusan mereka terhadap isu lingkungan. Bukan hanya demi memenuhi janji kampanye, tetapi juga demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Apakah janji hijau kali ini akan tetap menjadi kenyataan, atau justru berubah menjadi realitas kelabu, tergantung pada komitmen kita semua, baik para pemimpin maupun masyarakat.
***
*) Oleh : Rahmi Awallina, S.TP., MP., Dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Janji Hijau Politik
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |