TIMES PADANG, PADANG – Bencana alam datang seperti tamu tak diundang yang mengetuk pintu berulang-ulang. Di Indonesia, ketukannya bahkan terasa nyaring: hujan yang turun sepekan bisa menggulung pemukiman; sungai yang dulu ramah menjelma naga coklat yang mengamuk; tanah yang bosan dipaksa menopang perumahan akhirnya merosot dalam longsoran.
Dan seperti biasa, setelah menyapu rumah, jembatan, dan sawah, bencana menyisakan satu pertanyaan yang terus mengusik: apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan?
Dalam khazanah Islam, Al-Qur’an tak pernah memotret bencana sebagai peristiwa tunggal yang hitam-putih. Di sana, musibah hadir dalam spektrum yang luas, kadang sebagai peringatan, kadang sebagai ujian, dan kadang sebagai konsekuensi ulah manusia sendiri.
Konteksnya sangat relevan dengan dunia hari ini, ketika krisis lingkungan sudah berada di depan pintu, dan istilah “iklim ekstrem” menjadi kalimat pembuka konferensi pers setiap kali banjir melanda.
Ayat-ayat tentang bencana dalam Al-Qur’an sering ditampilkan sebagai tazkirah pengingat agar manusia berhenti sejenak dan menengok ke dalam diri. “Kami timpakan penderitaan agar mereka merendahkan diri,” demikian salah satu pesan QS Al-A’raf 7:94. Bukan ancaman, tapi peringatan yang mendorong introspeksi.
Di zaman modern, ayat seperti ini menunjukkan relevansinya. Ketika bencana datang, manusia diminta bertanya: apakah ada kesalahan kolektif yang selama ini dianggap sepele? Apakah tata kelola lingkungan kita benar? Apakah pejabat yang memegang kendali sungai masih menutup mata pada laporan sedimentasi?
Ayat itu mengajak manusia memeriksa keseimbangan moral dan ekologis sekaligus dua hal yang sering diperlakukan terpisah padahal nyaris tak pernah benar-benar terpisah.
Ujian yang Menyisakan Ketabahan
Tak sedikit ayat yang menjelaskan bahwa musibah adalah ibtila' ujian. Surat Al-Baqarah 2:155 mengingatkan bahwa manusia akan diuji dengan ketakutan, kelaparan, dan kehilangan. Dalam bencana, sisi ini terasa manusiawi. Warga yang rumahnya dihanyutkan banjir tak sedang dihukum, mereka sedang diuji ketabahannya.
Namun dalam dimensi sosial, ujian itu sebenarnya ditujukan bukan hanya kepada korban, tapi juga kepada negara dan masyarakat. Sejauh mana institusi negara mampu memberikan perlindungan? Seberapa cepat bantuan datang? Apakah solidaritas masih hidup atau justru digantikan netizen yang sibuk mencari siapa yang salah? Bencana menjadi ujian bagi satu ekosistem sosial, bukan hanya individu.
Di tengah gelombang bencana ekologis yang makin sering, satu ayat yang paling sering dikutip para sarjana lingkungan adalah QS Ar-Rum 30:41: “Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan oleh tangan manusia.”
Kalimat ini terdengar seperti laporan ilmiah zaman kini. Kejadian banjir bandang yang menyeret batang-batang kayu peladangan di hulu sungai tak perlu ditafsirkan sebagai hukuman.
Ia adalah konsekuensi logis dari deforestasi dan pembukaan lahan yang tak terkendali. Al-Qur’an menyebutnya sebagai fasad kerusakan yang muncul karena pola hidup yang mengabaikan keseimbangan.
Di banyak daerah, pemerintah sering mengulang narasi “cuaca ekstrem” setiap kali bencana melanda, seolah badai dan hujan adalah tersangka tunggal. Padahal, curah hujan hanya pemantik; persoalan sesungguhnya berakar pada tata ruang yang tak beres, kebijakan yang ditunda, dan pembiaran yang lama menjadi budaya. Di sinilah pesan Al-Qur’an berdiri lugas: jika kerusakan bersumber dari ulah manusia, maka solusi juga harus dimulai dari perubahan perilaku dan kebijakan manusia.
Di beberapa ayat, Al-Qur’an menggunakan istilah i’tibar mengambil pelajaran. Bagi umat manusia modern, pesan ini mengarah pada sesuatu yang sangat konkret: memperbaiki sistem mitigasi dan tata kelola, memeriksa kembali infrastruktur, memperkuat kesiapsiagaan bencana, dan melakukan adaptasi menghadapi perubahan iklim.
Tidak cukup sekadar berdoa setelah bencana berlalu. Ayat-ayat semacam ini mengingatkan bahwa doa yang paling serius adalah perbaikan yang nyata. Dan seperti yang diajarkan QS Yusuf 12:47–49, perencanaan jangka panjang dalam menghadapi potensi krisis adalah tindakan profetik.
Nabi Yusuf tidak menunggu paceklik datang untuk bertindak; ia merancang penyimpanan pangan jauh sebelum bencana terjadi. Dalam dunia modern, itu berarti adaptasi iklim, penataan hulu sungai, pengelolaan risiko, dan penggunaan sains untuk memperkecil dampak bencana.
Solidaritas sebagai Respons Pertama
Ketika bencana hadir, Al-Qur’an menekankan satu perintah yang mudah dipahami tapi sering dilupakan: tolong-menolong. QS Al-Maidah 5:2 mengajak manusia bekerja sama dalam kebaikan, bukan saling menyalahkan.
Dalam konteks modern, itu berarti datang membantu korban, menyumbang, memperkuat relawan, dan memastikan tak ada keluarga yang dibiarkan sendirian menatap reruntuhan rumah mereka.
Namun solidaritas bukan sekadar tindakan setelah bencana. Ia adalah cara hidup. Solidaritas yang sejati memaksa kita memikirkan keadilan lingkungan: jangan sampai masyarakat yang tak pernah menebang pohon justru menjadi korban banjir akibat gunungan kayu yang ditebang di tempat lain.
Al-Qur’an berkali-kali menegaskan bahwa Tuhan tidak menzalimi hamba-Nya. Ini pesan penting dalam wacana publik yang sering terburu-buru menuduh bencana sebagai hukuman ilahi. Narasi ini berbahaya: ia membuat masyarakat pasrah, membuat pejabat bebas dari tanggung jawab, dan menghilangkan urgensi perbaikan struktural.
Ayat-ayat tentang bencana justru mengajak manusia berpikir kritis, membaca tanda zaman, memperbaiki apa yang rusak, dan membangun kembali yang runtuh. Bencana bukan akhir, melainkan awal dari perubahan.
Di dunia yang kian gelisah oleh iklim yang tak menentu, pesan Al-Qur’an menghadirkan keseimbangan: spiritualitas yang menenangkan sekaligus etika ekologis yang tegas.
Bencana bukan hanya fenomena geologis atau meteorologis. Ia adalah cermin yang memantulkan kembali kepada kita ketelanjangan kebijakan, kerapuhan tata ruang, dan solidaritas yang diuji. Dan seperti semua cermin, ia menunggu manusia untuk berani menatap. (*)
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |