TIMES PADANG, PADANG – Setiap bencana alam selalu memicu dua hal yang berjalan bersamaan yaitu penderitaan korban dan gelombang solidaritas publik. Dalam hitungan jam rekening donasi dibuka, tautan disebar dan dana terkumpul dalam jumlah besar, kecepatan ini patut diapresiasi karena dalam situasi darurat, bantuan memang tidak boleh tertunda.
Namun pengalaman menunjukkan satu fakta pahit Dimana ada dana besar, disitu selalu ada godaan penyelewengan terlebih saat bencana, Ketika pengawasan melemah dan empati public menutup nalar kritis.
Perdebatan mengenai perlu atau tidaknya izin penggalangan dana Kembali mengemuka setiap kali bencana terjadi. Dalam konteks darurat, penggalangan dana memang tidak seharusnya diperlambat oleh prosedur administrative yang berbelit.
Menunggu izin formal Ketika korban kekurangan makanan, air bersih, dan layanan Kesehatan adalah kebijakan yang tidak manusiawi. Karena itu, penggalangan dana bencana boleh dilakukan tanpa menunggu izin sepanjang tujuannya jelas dan bersifat kemanusiaan.
Namun masalah serius muncul Ketika kelonggaran ini disalahartikan. Tidak perlu izin seringkali diterjemahkan sebagai tidak perlu pertanggungjwaban. Disinilah resiko terbesar berada. Indonesia memiliki rekam jejak yang tidak bisa diabaikan kasus dugaan penyalahgunaan donasi untuk biaya pengobatan Agus Salim, asus Penyelewenangan dana di Lembaga filantropi besar Aksi Cepat Tanggap (ACT), kasus Singgih Shahara (donasi online) dan lainnya, artinya kasus penggelapan atau penyalahgunaan dana donasi public itu nyata terlebih kita tidak ada tools yang menjembatani akuntabilitas penggalangdana.
Dalam konteks bencana alam, berbagai laporan tentang penyimpangan dana rekonstruksi pascabencana mulai dari Pembangunan hunian sementara yang tidak layak hingga distribusi bantuan yang tidak merata menguatkan fakta bahwa bantuan kemanusiaan bukan wilayah steril dari kejahatan.
Masalah utamanya bukan niat menggalang dana, melainkan pada pengelolaan dan pertanggungjawaban dana tersebut. Publik kerap hanya disuguhi narasi empati, foto penyerahan simbolis, atau laporan samar tanpa angka.
Padahal yang dibutuhkan public bukan cerita heroic, melainkan data konkret berapa banyak dana yang masuk, dari siapa, kapan diterima, digunakan untuk apa, disalurkan kemana dan berapa sisa dana yang masih dikelola.
Setiap pihak yang menggalang dana baik individu, komunitas, tokoh publik, maupun organisasi memikul amanah public. Laporan keuangan yang terbuka dan mudah diakses bukan beban administrative, melainkan kewajiban moral. Tanpa laporan yang jelas, penggalangan dana beresiko berubah menjadi ladang kecurigan/konflik, bahkan membuka peluang tindak pidana.
Dana yang dihimpun dari public pada dasarnya adalah amanah kolektif. Setiap rupiah yang disumbangkan lahir dari kepercayaan, empati dan harapan bahwa bantuan tersebut benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan, karena itu, pertanggungjawaban penggunaan dana harus diberikan kepada publik, bukan sekadar kepada lingkaran internal penggalang.
Laporan pemasukan dan pengeluaran yang terbuka, mudah diakses, dan disertai bukti penggunaan bukanlah tuntutan berlebihan, melainkan prasyarat keadilan. Transparansi memastikan bahwa solidaritas tidak berhenti pada niat baik, tetapi berwujud manfaat nyata bagi korban bencana.
Ironisnya, situasi bencana justru seringkali minim pengawasan. Banyak orang focus pada penyelamatan dan pemulihan, sementara perhatian public tersedot oleh emosi dan empati. Kondisi ini menciptakan ruang gelap yang sangat rawan disalahgunakan. Karena itu, standar akuntabilitas dalam penggalangan dana bencana seharusnya lebih ketat, bukan lebih longgar.
Jika solidaritas public ingin tetap dipercaya, prinsipnya harus tegas, penggalangan dana boleh cepat dan fleksibel, tetapi pertanggungjawabannya harus ketat dan transparan. Tanpa itu, solidaritas hanya menjadi ilusi, dan korban bencana Kembali menjadi pihak yang paling dirugikan bukan oleh alam, melainkan oleh kelalaian manusia.
Perlu ditegaskan pula bahwa penyalahgunaan dana publik dalam penggalangan kemanusiaan bukan sekedar pelanggaran etika, melainkan bisa masuk keranah pidana, termasuk penggelapan. Penegasan ini bukan untuk menakut-nakuti atau melemahkan inisiatif kemanusiaan, melainkan untuk membangun system yang lebih adil dan berintegritas.
Tanpa konsekwensi hukum yang jelas, kepercayaan publik akan rapuh, dan solidaritas beresiko berubah menjadi kecurigaan. Justru dengan standar pertanggungjawaban yang tegas, penggalangan dana akan semakin dipercaya, berkelanjutan, dan benar-benar berpihak kepada korban bukan kepada kepentingan segelintir orang.
***
*) Oleh : Decthree Ranti Putri, Advokat Publik, Mahasiswa Pasca Sarjana FHUA.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |