TIMES PADANG, PADANG – Awal tahun 1970 menjadi momen ironis dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Di tengah gelombang protes mahasiswa yang menuding pemerintah Orde Baru kian sarat praktik KKN, Presiden Soeharto pada 31 Januari 1970 membentuk sebuah lembaga bernama Komisi Empat.
Keputusan ini dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1970 dan saat itu disambut sebagai sinar baru dalam upaya membersihkan pemerintahan dari penyakit kronis bernama korupsi.
Komisi ini dipimpin oleh Wilopo, S.H., mantan perdana menteri era awal republik, dengan tokoh-tokoh berintegritas seperti I.J. Kasimo, Prof. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto sebagai anggota. Mohammad Hatta, sang proklamator yang dikenal bersih, didapuk sebagai penasihat.
Lembaga itu diberi mandat untuk meneliti, menilai, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai langkah-langkah konkret dalam menanggulangi korupsi. Namun mandat yang tampak tegas di atas kertas ternyata lemah di lapangan, karena Komisi Empat tidak memiliki wewenang penuntutan atau penindakan hukum.
Menyulut Harapan, Menemukan Skandal
Ketika Komisi Empat mulai bekerja, publik menaruh harapan besar. Di tengah kondisi ekonomi yang baru pulih dari transisi politik, masyarakat berharap lembaga ini mampu menata ulang moral birokrasi.
Komisi ini segera menelusuri institusi yang dianggap rawan penyimpangan dari Pertamina, Badan Urusan Logistik (BULOG), hingga program penyediaan pupuk yang kala itu dikenal dengan nama Coopa.
Hasilnya cukup mengejutkan. Dalam laporannya, Komisi Empat menemukan bahwa Pertamina selama periode 1958–1963 tidak membayar pajak kepada negara dan menjalankan sejumlah anak perusahaan yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang pokok-pokok perusahaan negara. Komisi juga mencatat lemahnya pengawasan anggaran dan indikasi penyalahgunaan dana perusahaan untuk kepentingan di luar bisnis minyak dan gas.
Di luar Pertamina, Komisi menemukan dugaan penyimpangan besar dalam proyek pupuk Bimas Gotong Royong, yang melibatkan perusahaan Coopa dan sejumlah pejabat militer.
Nilai kerugian negara diperkirakan mencapai lebih dari tujuh ratus ribu dolar AS angka yang sangat besar untuk ukuran waktu itu. Laporan lain mengungkap defisit keuangan pada BULOG hingga mencapai Rp 12,8 miliar. Semua itu memberi gambaran betapa dalamnya akar penyimpangan dalam tubuh birokrasi dan BUMN.
Namun, setelah bekerja selama sekitar lima bulan, Komisi Empat menyerahkan laporan final kepada Presiden. Bukannya diperkuat, lembaga itu justru dibubarkan lewat Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1970.
Harapan besar pada lembaga antikorupsi pertama di masa Orde Baru itu segera pupus. Komisi Empat tidak memiliki taring. Ia hanya bisa meneliti dan memberi pertimbangan.
Semua hasil investigasinya bergantung pada kemauan politik presiden untuk ditindaklanjuti. Karena laporan mereka tidak pernah dipublikasikan secara transparan, publik pun kehilangan akses untuk menilai kinerja dan hasil kerja lembaga tersebut.
Sejumlah pengamat menilai, Komisi Empat sesungguhnya menjadi cermin awal bagaimana kekuasaan Orde Baru menempatkan “pemberantasan korupsi” sebatas jargon politik. Laporan yang seharusnya menjadi pintu pembenahan birokrasi justru terhenti di meja kekuasaan.
Dalam salah satu kesimpulannya, Komisi Empat sudah dengan jelas menunjukkan bahwa akar korupsi ada pada tiga hal: pendapatan pejabat yang tidak mencukupi, penyalahgunaan kesempatan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Tetapi, tanpa langkah hukum dan perubahan struktural, kesimpulan itu hanya menjadi catatan sejarah tanpa daya ubah.
Meski tak memiliki kewenangan penindakan, Komisi Empat meninggalkan sejumlah catatan penting tentang modus korupsi yang kelak berulang di berbagai era pemerintahan.
Laporan mereka menyebutkan praktik pembelian kapal oleh Pertamina melalui broker asing dengan harga tak wajar, serta penyalahgunaan dana perusahaan untuk kepentingan di luar bisnis negara.
Dalam kasus Coopa, yang menyangkut penyediaan pupuk bagi petani, lembaga ini menyoroti campur tangan pejabat militer dan bisnis swasta yang menggelembungkan harga dan memanipulasi kontrak. Namun karena laporan mereka berhenti pada tahap rekomendasi, tak satu pun dari temuan besar itu yang sampai ke pengadilan.
Beberapa tahun kemudian, pemerintah meluncurkan Operasi Penertiban (OPSTIB) pada 1977 untuk menindaklanjuti isu korupsi. Operasi ini memang menangani ribuan perkara dan menyelamatkan dana negara ratusan miliar rupiah, tetapi banyak pihak menilai bahwa operasi tersebut hanya menyasar kasus kecil, sementara kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi tetap tak tersentuh.
Meski berumur pendek, keberadaan Komisi Empat menjadi tonggak sejarah penting. Ia membuktikan bahwa pada dasarnya setiap rezim bahkan yang otoriter sekalipun menyadari bahwa korupsi adalah ancaman bagi kelangsungan kekuasaan. Namun, kesadaran itu tidak selalu diikuti dengan kemauan politik yang sungguh-sungguh.
Dari Komisi Empat, kita belajar bahwa lembaga antikorupsi yang efektif membutuhkan tiga hal: kewenangan penindakan yang jelas, transparansi yang terbuka kepada publik, dan independensi dari intervensi politik. Tanpa ketiganya, lembaga semacam itu hanya akan menjadi ornamen moral simbol keseriusan semu yang berakhir dalam senyap.
Hampir setengah abad kemudian, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri pada 2003, semangat yang sama seolah dihidupkan kembali. Namun sejarah juga mengingatkan, sekuat apa pun lembaga itu, tanpa keberanian politik dan dukungan masyarakat, perjuangan melawan korupsi akan selalu berada di tepi jurang.
Ketika Wilopo dan rekan-rekannya duduk di meja Komisi Empat lima puluh tahun lalu, mereka membawa harapan untuk membangun tata pemerintahan yang bersih. Tetapi lembaga itu mati muda dan korupsi justru tumbuh subur di bawah sistem yang semakin rapi menyembunyikan jejak.
Catatan Komisi Empat tentang Pertamina yang tidak berpegang teguh pada Pasal 33 UUD 1945 kini terbaca seperti nubuat: bahwa penguasaan sumber daya alam tanpa pengawasan publik hanya akan melahirkan penyimpangan baru. Laporan itu bukan sekadar arsip tua; ia adalah peringatan keras bahwa pemberantasan korupsi tak bisa setengah hati.
Sejarah mencatat, lembaga antikorupsi pertama Indonesia memang gagal menuntaskan misi sucinya. Tapi dari kegagalan itulah muncul pelajaran berharga: membentuk lembaga tidak cukup, memberi kekuasaan dan kebebasan bertindak jauh lebih penting. Karena melawan korupsi bukan sekadar menandatangani keputusan, melainkan menghadapi kenyataan bahwa musuh terbesar kerap bersembunyi di balik meja sendiri. (*)
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |