https://padang.times.co.id/
Opini

Ketika Penegak Hukum Masih Bermain Api

Sabtu, 06 Desember 2025 - 17:11
Ketika Penegak Hukum Masih Bermain Api Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

TIMES PADANG, PADANG – Menjelang Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2025, Indonesia kembali berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, kampanye publik membahana di televisi, spanduk berwarna cerah dipasang di kantor-kantor pemerintah, dan pidato pejabat menggaungkan tekad untuk “menghancurkan korupsi sampai ke akar-akarnya.” 

Namun di sisi lain, kenyataan di lapangan menunjukkan bayang-bayang gelap yang sulit terusir. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) justru kian merangsek masuk ke pusat-pusat kekuasaan, terutama di sektor yang seharusnya menjadi garda terdepan: penegak hukum.

Sejumlah kasus sepanjang 2024–2025 membuka kembali tirai yang sejak lama robek. Oknum polisi yang menjadi makelar kasus, jaksa yang mengatur arah penyidikan, hingga hakim yang menjual putusan di ruang gelap. 

Semua saling berkaitan, membentuk jejaring yang tak mudah diputus. Di negeri yang tiap tahun memperingati hari antikorupsi, yang paling korup justru adalah mereka yang bertugas membersihkan korupsi.

Di tingkat kepolisian, praktik “ATM berjalan” tetap saja menjadi rahasia umum, meskipun sudah berulang kali dibantah institusi. Modusnya klasik: mulai dari percepatan perkara, penghentian penyidikan, hingga penghilangan barang bukti. 

Beberapa laporan Ombudsman dan masyarakat sipil menggambarkan pola yang hampir seragam: transaksi dilakukan secara bertahap, melibatkan perantara, dan dibungkus seolah-olah sebagai “uang operasional”.

Pada awal 2025, publik geger ketika seorang penyidik senior di Polda sebuah provinsi di Sumatera tertangkap menerima setoran ratusan juta rupiah dari pengusaha sawit. Kasus itu menjadi sorotan nasional bukan hanya karena nilai uangnya besar, tetapi karena skemanya lazim: penyidik menawarkan opsi “restorative justice berbayar” untuk menghentikan perkara pidana. 

Dalam banyak kasus, pelaku bukan pemain tunggal. Selalu ada jaringan kecil yang menutupi jejak, mulai dari pegawai administrasi, penyidik pembantu, hingga atasan yang pura-pura tak tahu.

Institusi polisi berulang kali mengklaim sudah melakukan “pembersihan internal.” Namun efektivitasnya patut dipertanyakan. Pola korupsi justru makin kompleks, lebih terstruktur, dan semakin lihai memanfaatkan celah birokrasi. Reformasi di tubuh kepolisian seolah hanya mengganti seragam tanpa benar-benar mengubah kultur.

Jaksa dan Industri Pemerasan Baru

Jika polisi sering terseret ke isu makelar kasus, kejaksaan menghadapi masalah yang tak kalah rumit. Dalam beberapa tahun terakhir, ruang gelap itu muncul di tengah pemberantasan korupsi itu sendiri. 

Kejaksaan dikenal sebagai lembaga yang agresif dalam penindakan kasus kelas kakap, tetapi sebagian oknum di dalamnya justru memanfaatkan momentum itu untuk menciptakan industri pemerasan baru.

Kasus paling mencolok terjadi pada 2024 ketika seorang Kepala Kejaksaan Negeri di Jawa Timur tertangkap menerima suap dari perusahaan konstruksi untuk “pemulusan” pemeriksaan proyek infrastruktur. Padahal, proyek itu sedang menjadi perhatian publik karena diduga merugikan negara miliaran rupiah. 

Ironisnya, oknum tersebut menggunakan operasi penegakan hukum sebagai tameng, seolah-olah memanggil pihak perusahaan sebagai bagian dari penyelidikan, padahal ujungnya adalah negosiasi angka.

Modus baru juga berkembang: jaksa meminta sejumlah uang untuk “mengatur status” seseorang, apakah ia akan dijadikan saksi, tersangka, atau dikeluarkan dari pusaran perkara. 

Praktik-praktik semacam ini memicu kekhawatiran serius. Jika lembaga yang bertugas menuntut koruptor menjadi bagian dari mata rantai korupsi, siapa yang tersisa untuk menoleh pada keadilan?

Reformasi struktural di kejaksaan memang berjalan, tetapi perbaikan sistem tak otomatis menetralisir ambisi pribadi. Beberapa kasus kecil berhasil ditindak cepat, namun praktik yang lebih besar kerap menguap begitu saja. Di internal kejaksaan, isu senioritas dan kultur feodal kerap menutup ruang koreksi. Siapa yang kritis berisiko kariernya macet.

Namun titik paling genting berada di meja hijau, tempat hukum diputuskan. Kejadian demi kejadian sepanjang dua tahun terakhir menunjukkan betapa rapuhnya integritas peradilan Indonesia. Dari pengadilan negeri hingga pengadilan tinggi, cerita mengenai putusan yang “bisa dipesan” terus terdengar.

Di salah satu pengadilan besar di Jawa, seorang hakim dilaporkan menerima fasilitas mewah selama persidangan berlangsung hotel bintang lima, tiket pesawat bisnis, bahkan liburan keluarga. Fasilitas itu diberikan oleh pihak yang sedang berperkara, menggunakan jaringan perantara yang sudah profesional. 

Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah keterlibatan oknum panitera, yang sejak lama menjadi titik rawan dalam transaksi perkara. Panitera sering berperan sebagai “broker hukum”, yang memungut ongkos untuk setiap langkah persidangan, mulai dari jadwal sidang hingga draf putusan.

Sementara itu, kasus suap di Mahkamah Agung yang meledak pada 2022–2023 ternyata masih menyisakan luka. Meski sejumlah hakim agung telah dipenjara, jejaringnya tidak serta-merta hilang. 

Beberapa praktik diketahui berlanjut secara sembunyi-sembunyi, bergeser ke pengadilan tinggi dan pengadilan negeri. Mereka belajar dari kasus sebelumnya: lebih rapi, lebih tertutup, lebih sulit dilacak.

Problem utama peradilan Indonesia adalah minimnya transparansi proses penanganan perkara. Putusan boleh saja dipublikasi, tetapi jalan panjang dari penyusunan hingga penetapan putusan adalah lorong gelap yang tak dapat ditembus publik. Di situlah korupsi bekerja, menjelma menjadi bisik-bisik, draf revisi, dan kesepakatan yang tak pernah masuk berita acara.

Ironisnya, menjelang Hari Antikorupsi Sedunia 2025, sejumlah pejabat mulai mengeluarkan pernyataan yang terdengar normatif: bahwa banjir korupsi terjadi karena “iklim ekstrem” seperti tekanan sosial, ekonomi global, atau ketidakpastian kebijakan. 

Pernyataan semacam ini mirip alasan pejabat daerah yang menyebut banjir terjadi akibat cuaca buruk padahal hutan di wilayahnya habis dibabat. KKN di lembaga hukum bukan karena “situasi ekstrem”, tetapi karena pembiaran sistemik dan kultur institusi yang menormalisasi penyimpangan.

Berulang kali, masyarakat menuntut pembaruan menyeluruh, tetapi reformasi kerap hanya sampai pada level kosmetik. Laporan-laporan internal tidak dipublikasikan, sidang kode etik berlangsung tertutup, dan hukuman disiplin ringan menjadi pola tetap. 

Transparansi menjadi slogan, bukan praktik. Para penegak hukum sering bicara tentang integritas, namun integritas berubah menjadi jargon tahunan yang hanya berkumandang setiap 9 Desember.

Saatnya Membuka Tirai yang Robek

Untuk mengikis korupsi di sektor hukum, kita tak cukup mengandalkan penindakan. Harus ada perubahan cara bekerja, cara merekrut, dan cara mengawasi. Mekanisme seleksi yang lebih ketat, audit gaya hidup yang konsisten, dan keterlibatan publik yang nyata dalam pengawasan perkara adalah fondasi yang selama ini diabaikan.

Sistem digitalisasi proses hukum yang transparan pun harus didorong, agar setiap langkah penegakan hukum tercatat, dapat diawasi, dan tak lagi menjadi celah transaksi gelap.

Pemberantasan korupsi di tubuh aparat penegak hukum adalah prioritas paling mendesak. Jika para penjaga hukum tak lagi dipercaya, masyarakat akan mencari jalannya sendiri. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum; ia adalah pembusukan kepercayaan. Dan ketika kepercayaan hilang, negara berdiri tanpa fondasi.

Hari Antikorupsi Sedunia seharusnya bukan sekadar peringatan tahunan, tetapi momentum menelanjangi kenyataan: bahwa musuh terbesar hukum bukan hanya koruptor, tetapi mereka yang seharusnya mencegah korupsi namun justru menikmatinya. 

 

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Padang just now

Welcome to TIMES Padang

TIMES Padang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.