TIMES PADANG, PADANG – Pukul sembilan pagi di sebuah ballroom hotel bintang empat di kawasan Jakarta Barat, deretan kursi empuk sudah dipadati peserta undangan. Beberapa di antaranya terlihat menggenggam kamera saku, sebagian lainnya hanya membawa blocknote bertuliskan “Pers” dengan logo media yang tidak dikenal.
Acara pembukaan kegiatan pelatihan bertaraf nasional baru akan dimulai, namun para “wartawan” ini sudah siap menyambut satu momen penting yang tak tercatat dalam rundown acara, amplop.
Fenomena wartawan amplop bukan barang baru. Ia adalah praktik lama yang terus bertahan, bahkan tumbuh subur dalam ekosistem media lokal yang rapuh. Wartawan jenis ini tidak datang membawa mandat redaksi atau semangat jurnalistik. Mereka hadir sebagai peminta berkedok peliput.
Dalam banyak kasus, berita bukan tujuan akhir, tapi sekadar legitimasi untuk mendapatkan "upeti". Istilahnya, “asal ada muka di lokasi, pasti dapat isi saku.”
Fenomena ini tak hanya mencoreng etika jurnalistik, tapi juga memperlihatkan wajah lain dari industri media yang rapuh secara ekonomi dan nilai. Tak sedikit dari mereka beroperasi melalui media abal-abal yang tidak terdaftar di Dewan Pers, dengan kartu pers yang dicetak sendiri, dan berita yang bisa dinegosiasikan sesuai jumlah isi amplop.
“Ini bukan lagi jurnalisme. Ini bisnis personal yang dipoles dengan baju pers,” kata seorang redaktur media arus utama yang enggan disebut namanya. Ia mengaku tak jarang menerima laporan dari narasumber di daerah yang merasa diperas atau dipermainkan oleh wartawan gadungan.
Modus operandinya beragam. Ada yang datang hanya untuk memastikan kehadiran dan mendapatkan amplop konsumsi. Ada pula yang membawa informasi sensitif—seperti dugaan korupsi, pelanggaran tender, atau isu rumah tangga pejabat—yang lalu digunakan sebagai senjata tawar-menawar.
Pilihannya sederhana: amplop besar agar berita itu tak tayang, atau “klarifikasi” yang disusun sedemikian rupa agar menyudutkan pihak tertentu. Bahkan tak jarang, media mereka justru mengabarkan hal sebaliknya dari fakta di lapangan, seolah berita bisa dibeli seperti nasi bungkus.
Fenomena ini makin diperparah oleh pejabat dan penyelenggara kegiatan yang dengan sukarela menyediakan “konsumsi khusus” bagi para wartawan yang datang. “Sudah jadi anggaran. Ada pos khusus untuk amplop wartawan,” kata seorang staf humas dari sebuah dinas di Sumatera Utara. “Kalau tidak disediakan, nanti mereka tulis jelek-jelek.”
Kondisi ini menunjukkan sebuah simbiosis menyimpang. Di satu sisi, ada wartawan gadungan yang mencari penghasilan instan lewat media yang tak punya struktur redaksi. Di sisi lain, ada pejabat yang merasa bisa membeli pemberitaan demi citra baik. Yang dirugikan tentu publik, yang mendapat informasi penuh bias atau bahkan manipulatif.
Menurut Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, praktik semacam ini adalah bentuk jurnalisme transaksional yang menggerogoti kepercayaan publik terhadap media.
“Kami mendorong agar masyarakat bisa membedakan mana media yang sah dan mana yang tidak. Verifikasi bisa dilakukan melalui laman Dewan Pers,” ujarnya saat menghadiri diskusi literasi pers tahun lalu.
Data Dewan Pers 2023 mencatat lebih dari 45 ribu media online di Indonesia, namun hanya sekitar 2.000 yang terverifikasi secara administratif dan faktual. Artinya, sebagian besar media berjalan tanpa kode etik jurnalistik yang benar, bahkan tanpa redaksi tetap. Di sinilah lahan subur itu tumbuh—antara status legal yang longgar dan kebutuhan ekonomi wartawan yang tak tertopang.
Fenomena ini juga mengakar dalam sistem rekrutmen media kecil yang nyaris tanpa pelatihan jurnalistik. Tak sedikit wartawan yang direkrut hanya bermodal kamera ponsel dan keberanian bertanya.
Tanpa kode etik dan pemahaman dasar jurnalisme, profesi ini berubah jadi alat cari makan. Di balik lanyard pers yang bergoyang di leher mereka, tak ada idealisme yang ikut bergoyang.
Kondisi ini semestinya jadi perhatian semua pihak. Lembaga pemerintah harus lebih selektif dalam memberikan akses peliputan dan tidak serta-merta menyediakan amplop demi menghindari pemberitaan negatif.
Dewan Pers dan asosiasi jurnalis harus aktif menertibkan media liar dan mengedukasi publik. Masyarakat pun mesti kritis: jika sebuah media hanya muncul saat ada proyek dan menghilang saat ada skandal, maka kemungkinan besar mereka bukan penjaga nurani publik.
Menjelang makan siang, para wartawan amplop sudah mulai berkemas. Beberapa membawa nasi kotak dan goodie bag, sebagian lainnya mengantongi uang transport yang jumlahnya lebih dari cukup untuk ongkos pulang.
Tidak semua dari mereka akan menulis berita. Tidak semua dari mereka berasal dari media sungguhan. Dan esok, di hotel lain, acara lain, cerita yang sama akan berulang lagi.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
______
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |