TIMES PADANG, PADANG – Pemerintah kembali meluncurkan proyek raksasa: Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Sebuah proyek yang digadang-gadang bakal menjadi tonggak baru tata kelola bantuan sosial, kebijakan kemiskinan, dan penentuan target penerima manfaat.
Dalam narasi resmi, data tunggal ini adalah obat mujarab yang selama bertahun-tahun ditunggu untuk mengatasi kebingungan antarinstansi, miskomunikasi birokrasi, dan kekacauan data yang kerap membuat bansos salah alamat.
Tapi seperti banyak ambisi teknokratik yang lahir dari ruang rapat steril, proyek ini segera menimbulkan pertanyaan: benarkah data tunggal akan melahirkan efisiensi dan keadilan? Ataukah justru menjadi alat baru yang memperluas kontrol negara, mengkonsentrasikan kekuasaan informasi, dan membuka ruang bagi penyalahgunaan data yang semakin sulit dipantau publik?
Di dunia yang bergerak menuju algoritma dan automatisasi kebijakan, data bukan sekadar angka. Ia adalah kekuasaan. Dan di negeri yang tata kelola pemerintahannya masih rapuh, kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu pintu hampir selalu menggoda untuk disalahgunakan.
DTSEN dirancang untuk menggabungkan tiga basis data besar: DTKS, Regsosek, dan P3KE. Semuanya dilebur menjadi satu sistem besar yang diklaim memuat seluruh kondisi sosial ekonomi keluarga Indonesia pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kondisi rumah, akses air, hingga kepemilikan aset. Satu data dijanjikan sebagai “buku besar” kehidupan warga, dasar semua kebijakan distribusi bansos, subsidi, hingga intervensi pengentasan kemiskinan.
Di atas kertas, gagasan ini tampak rapi. Tidak ada lagi tiga kementerian berlomba-lomba menetapkan angka kemiskinan versi masing-masing. Tidak ada lagi dualisme data yang membuat pemerintah daerah bingung menentukan penerima bantuan. Tidak ada lagi tumpang tindih informasi yang sering menjadi dalih birokrasi ketika bantuan tidak sampai kepada yang berhak.
Dengan DTSEN, negara ingin meyakinkan publik bahwa semuanya akan berjalan presisi: yang miskin akan dibantu, yang tidak miskin tidak akan menerima bantuan, dan semua keputusan diambil atas dasar data objektif. Tapi seperti kata pepatah lama: “Ketika satu lembaga memegang seluruh kunci, tidak ada pintu yang benar-benar aman.”
Dalam banyak negara, data tunggal sosial ekonomi memang menjadi alat penting untuk kebijakan publik. Tetapi dalam negara dengan tingkat transparansi rendah, mekanisme audit lemah, dan pengawasan publik yang timpang seperti Indonesia, data tunggal justru berisiko menjadi bentuk baru dari sentralisasi kekuasaan.
Risiko pertama adalah bias data. Pemutakhiran data sering kali berjalan lambat, tidak komprehensif, dan tidak mampu menangkap perubahan sosial ekonomi yang cepat.
Keluarga yang tiba-tiba jatuh miskin akibat kehilangan pekerjaan mungkin masih tercatat “aman” dalam sistem. Sebaliknya, mereka yang sesungguhnya tidak lagi berhak, bisa tetap menerima bantuan bertahun-tahun.
Masalah berikutnya adalah kecenderungan pemerintah mempersonifikasikan data sebagai kebenaran tak terbantahkan. Dalam banyak praktik birokrasi, data sering disakralkan, seolah-olah ia bebas dari kesalahan, padahal proses pengisiannya sangat rentan.
Data yang diperlakukan sebagai kebenaran tunggal membuka peluang bagi pejabat untuk menolak keluhan masyarakat dengan satu kalimat mematikan: “Menurut data, Anda tidak miskin.” Di sinilah letak persoalan besar: data tunggal membuat manusia tunduk pada tabel, bukan sebaliknya.
DTSEN juga mengundang risiko lain yang jauh lebih politis: data menjadi aset kekuasaan yang bisa dimanipulasi. Siapa pun yang memiliki akses ke data, memiliki kemampuan menentukan nasib jutaan warga: siapa menerima bantuan, siapa tidak; siapa dinilai miskin, siapa tidak lagi memenuhi syarat; siapa layak mendapat subsidi, siapa harus dicoret.
Dalam konteks politik elektoral, data seperti ini bisa menjadi senjata. Bayangkan ketika daftar penerima manfaat dapat diatur bahkan sedikit saja berdasarkan afiliasi politik atau kecenderungan dukungan.
Bayangkan ketika kemiskinan tidak lagi murni indikator ekonomi, tetapi menjadi indikator elektoral. Bayangkan ketika keluarga tertentu tiba-tiba muncul di daftar penerima bansos menjelang pemilu, sementara keluarga lain yang secara objektif lebih membutuhkan justru dihapus tanpa penjelasan.
Secara teoritis, mekanisme verifikasi publik dapat menjadi penyeimbang. Tapi dalam praktik, proses banding data sering kali berjalan rumit, lambat, dan minim akses. Bagi warga miskin, menghadapi birokrasi data adalah “kemewahan” yang sulit dijangkau.
Jika kita melihat praktik di negara-negara lain, data tunggal sosial ekonomi sering berubah menjadi alat kontrol sosial. Pemerintah bisa menggunakannya untuk menilai kelayakan kerja, mengatur perpindahan penduduk, membatasi akses layanan, atau bahkan memantau afiliasi politik secara tak langsung melalui pola bantuan.
Dalam konteks Indonesia yang masih bergulat dengan budaya politik patronase, data tunggal dapat menjadi alat untuk mendisiplinkan warga. Bantuan bisa diberikan kepada mereka yang “patuh”, sementara mereka yang kritis atau menolak tunduk pada kepentingan politik tertentu dapat dengan mudah dicoret dengan alasan data “tidak memenuhi syarat”.
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa ketika negara memiliki kekuasaan berlebih tanpa pengawasan kuat, warga kecil hampir selalu menjadi korbannya.
DTSEN, jika tidak diawasi ketat, bisa menjadi versi modern dari bentuk kontrol tersebut lebih rapi, lebih sunyi, dan lebih sulit dilacak.
Sistem data tunggal yang mengotomatiskan kelayakan bantuan juga memiliki efek samping psikologis. Ia menghapus ruang empati yang seharusnya menjadi inti kebijakan sosial.
Ketika aparat lapangan tidak lagi diberi ruang untuk menilai langsung kondisi keluarga, tetapi hanya mengikuti tabel sistem, maka bantuan sosial berubah dari instrumen kemanusiaan menjadi keputusan algoritmik.
Kemiskinan yang bersifat multidimensi tidak pernah bisa sepenuhnya dipahami melalui angka. Kehilangan pekerjaan, kematian kepala keluarga, beban utang, kekerasan rumah tangga, penyakit kronis semuanya tidak selalu terekam dalam data dengan akurat. Keputusan yang diambil secara kering bisa menyisakan luka sosial yang panjang.
Masalah utama DTSEN bukan pada konsepnya, melainkan pada tata kelola dan pengawasannya. Data yang begitu besar dan begitu sensitif membutuhkan akurasi, transparansi, serta mekanisme audit independen.
Tanpa itu, proyek ini bisa menjadi arena gelap yang difungsikan sesuai kepentingan pengelola data. Hak publik untuk mengetahui bagaimana data dipakai dan diperbarui juga harus dijamin.
Sayangnya, hingga hari ini belum ada jaminan bahwa masyarakat akan diberi akses penuh untuk melakukan verifikasi mandiri atas data mereka. Mekanisme perbaikan data sering kali berbelit, tidak terstandar, dan sulit diakses warga miskin.
Ketika data tunggal tidak dibuka secara transparan, publik hanya bisa berharap bahwa pemerintah akan jujur. Dan berharap pemerintah jujur, tanpa mekanisme pemaksa integritas, adalah bentuk kepercayaan paling rentan dalam demokrasi.
Data tunggal memang dapat menjadi terobosan penting bagi pembangunan Indonesia. Tetapi jika dikelola tanpa prinsip keterbukaan, tanpa audit publik, dan tanpa kesadaran bahwa data hanyalah representasi sementara dari realitas sosial yang kompleks, DTSEN hanya akan menjadi menara gading baru yang dihuni segelintir birokrat dan pejabat.
Dalam negara demokrasi, data tidak boleh menjadi alat pengendalian warga. Ia harus menjadi alat pemberdayaan. Dan itu hanya mungkin jika prosesnya memenuhi tiga syarat utama: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Tanpa itu semua, data tunggal bisa berubah menjadi bahaya tunggal. (*)
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |