TIMES PADANG, PADANG – Tak ada yang benar-benar tahu berapa panjang umur manusia. Kalender menuliskan usia, tapi tak seorang pun dapat memastikan sisa waktu. Ulang tahun datang tiap tahun, tapi tak satu pun menjamin perpanjangan hidup.
Dalam kesadaran itulah, usia bukan sekadar angka. Ia adalah penanda: sudah sejauh apa kita berjalan, dan untuk apa waktu itu dihabiskan.
Dalam budaya populer Indonesia, ulang tahun lazim dirayakan dengan tumpeng, ucapan, dan doa. Tapi sesungguhnya, perayaan yang lebih penting adalah introspeksi: apakah usia yang bertambah juga menambah kebermanfaatan? Apakah umur panjang disertai dengan jejak amal yang meluas?
Dalam satu kisah di Minangkabau, ada seorang perempuan tua yang tak bisa membaca, tak bisa menulis, tapi selalu hadir setiap kali ada tetangga sakit, meninggal, atau melahirkan. Ia menyiapkan makanan, mencuci peralatan, membantu memandikan jenazah tanpa diminta dan tanpa pamrih.
Ketika ia meninggal, hampir seluruh nagari berkabung. Tak ada tanda jasa yang ia terima semasa hidup, tapi amalnya diingat lebih lama dari umurnya.
Begitu pula kisah dari Jepang, tempat orang-orang tua disebut ikigai, yaitu mereka yang menemukan alasan untuk bangun setiap pagi entah untuk berkebun, merawat cucu, atau menyusun puisi.
Panjang usia mereka bukan karena teknologi, tapi karena mereka merasa hidupnya masih bermakna. Bukan hanya hidup lebih lama, tetapi hidup dengan tujuan.
Pemikiran Barat modern, melalui tokoh seperti Viktor Frankl seorang psikiater Yahudi yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi menulis dalam bukunya Man’s Search for Meaning bahwa manusia bisa bertahan dalam penderitaan apa pun, selama ia tahu “mengapa” ia hidup.
Artinya, panjang umur menjadi nihil bila tak disertai dengan nilai dan makna. Menurut Frankl, penderitaan yang dialami seseorang bahkan bisa menjadi ladang kebaikan, asal ia mampu menaruh makna di baliknya.
Di sisi lain, ajaran Hindu menempatkan dharma sebagai poros dari usia yang dijalani. Menjalankan kewajiban hidup sesuai jalan kebenaran menjadi tugas utama dalam menapaki siklus kelahiran dan kematian. Umur yang panjang tak berarti bila digunakan hanya untuk memuaskan ego pribadi, ia harus menjadi media untuk menyatu dengan harmoni semesta.
Dalam ajaran Buddha, hidup ini adalah penderitaan (dukkha) yang hanya bisa dilampaui dengan kesadaran dan tindakan benar. Bukan tentang seberapa lama kita hidup, melainkan seberapa sadar dan welas asih kita terhadap sesama makhluk. Karenanya, usia bukan kebanggaan, tetapi kesempatan.
Di Indonesia hari ini, harapan hidup sudah menyentuh rata-rata 72 tahun. Namun apakah itu berarti lebih banyak amal? Apakah masa tua diisi dengan semangat berbagi, atau justru dengan kekosongan spiritual karena kehilangan arah?
Dalam struktur sosial kita, masa muda dikejar dengan ambisi, dan masa tua diisi dengan nostalgia. Tapi bagaimana jika keduanya diisi dengan pengabdian? Dalam Islam, Nabi Muhammad wafat di usia 63 tahun.
Dalam rentang itu, beliau membangun peradaban, menyebar kasih, dan meninggalkan warisan akhlak. Tak panjang secara statistik, tapi tak tertandingi secara dampak. Hidup yang berkualitas, bukan sekadar kuantitas.
Umar bin Khattab, khalifah kedua, pernah berpesan, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab.” Maka menakar amal adalah kebiasaan yang melekat dalam diri orang-orang besar.
Mereka tak menunggu momentum besar, tapi setiap hari menjadi waktu untuk memperbaiki diri. Tidak heran, nama mereka abadi, meskipun usia mereka telah lama pergi.
Sayangnya, ukuran keberhasilan kita hari ini sering kali menyimpang. Kita lebih menghargai popularitas ketimbang integritas, lebih mengagungkan kekayaan ketimbang kebaikan.
Padahal, tak satu pun dari itu yang ikut dalam kafan. Yang tinggal hanyalah amal: ilmu yang diwariskan, kebaikan yang dilakukan, dan kejujuran yang ditanamkan.
Maka pertanyaannya menjadi sederhana: apa yang ingin kita wariskan kepada dunia saat umur kita selesai?
Dalam sebuah seminar kewirausahaan sosial di Yogyakarta, seorang pengusaha muda bercerita bagaimana ia beralih dari bisnis konsumtif ke usaha pemberdayaan petani lokal.
“Saya pikir saya sedang mengejar sukses, tapi ternyata saya sedang lari dari makna,” katanya. Ia baru merasa ‘hidup’ ketika bisa membantu orang lain menegakkan hidupnya.
Di ulang tahun negara atau ulang tahun pribadi, pertanyaan mendasarnya tetap sama: Apakah umur yang bertambah berarti amal yang bertumbuh? Bila belum, kita punya alasan untuk lebih banyak memberi. Jika sudah, kita punya alasan untuk melanjutkannya.
Terkadang, amal tak selalu hadir dalam bentuk monumental. Ia hadir dalam bentuk doa yang tak terdengar, senyum yang menguatkan, atau maaf yang diberikan dengan tulus. Dalam Islam, amal kecil yang dilakukan terus-menerus lebih dicintai Allah ketimbang amal besar yang sesekali.
Dalam budaya Batak, konsep hamoraon (kekayaan) yang sejati adalah ketika seseorang masih bisa membantu meski hartanya tak berlimpah. Kedermawanan adalah ukuran umur yang bernilai.
Suatu hari kelak, usia akan berhenti. Tapi amal akan terus mengalir. Dalam kepercayaan agama-agama besar, hidup manusia di dunia hanyalah persinggahan. Tapi amal adalah tiket keberlanjutan.
Maka ketika usia bertambah, yang patut dirayakan bukan hanya panjang umur, tetapi juga makna yang telah kita hasilkan darinya. Umur bukan soal seberapa lama kita hidup, tapi apa yang tetap hidup setelah kita tiada.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |