https://padang.times.co.id/
Opini

Utang Naik, Rakyat Tercekik

Rabu, 06 Agustus 2025 - 09:38
Utang Naik, Rakyat Tercekik Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

TIMES PADANG, PADANG – Pemerintah berutang, rakyat yang gelisah. Di tengah narasi pembangunan yang dibungkus jargon-jargon optimisme, data dari ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) menjadi alarm keras. 

Pada dokumen “Clarification on Recent Media Coverage of AMRO’s Annual Consultation Report on Indonesia” yang diterbitkan 4 Agustus 2025 lalu. Di mana AMRO menegaskan proyeksi rasio utang Indonesia dapat mencapai sekitar 42% dari PDB pada 2029 jika tren fiskal saat ini berlanjut. 

Angka yang sekilas tampak biasa, sampai kita ingat bahwa Sri Lanka berada di titik yang sama sebelum kolaps dua tahun kemudian.

Sebelumnya, gambaran yang tidak jauh berbeda tentang kondisi Indonesia juga ditampilkan pada laporan “Strengthening Policy Synergy for Indonesia's Stability and Growth” dokumen berdasar Annual Consultation Visit Februari 2025, dengan analisis perkembangan makroekonomi Indonesia yang juga dirilis oleh AMRO.

Yang membuat cemas bukan sekadar angkanya, tapi pola di baliknya. Sri Lanka kala itu terjebak dalam utang luar negeri yang terus membengkak tanpa peningkatan signifikan dalam penerimaan negara. 

Belanja infrastruktur dan ambisi proyek mercusuar jadi pemicu. Saat pemasukan stagnan, sedangkan cicilan makin menumpuk, negeri itu tak lagi punya ruang fiskal. 

Ketika krisis menghantam, rakyat dipaksa antre bahan bakar dan sembako-sebuah tragedi yang bukan fiksi. Indonesia, tampaknya, mulai bermain di jalur yang sama.

Dalam beberapa tahun terakhir, postur belanja negara kian menggembung, sementara pendapatan belum mampu mengejar. Defisit APBN menipis, tetapi bukan karena basis penerimaan yang sehat, melainkan karena penyesuaian anggaran yang kerap memotong belanja publik strategis. 

Reformasi perpajakan berjalan lambat. Kebocoran fiskal dan insentif jangka pendek untuk sektor tertentu masih menghantui.

Namun, pemerintah masih optimistis. Menteri Keuangan Sri Mulyani berulang kali menegaskan bahwa rasio utang Indonesia masih di bawah batas aman yang ditetapkan undang-undang, yakni 60 persen dari PDB. 

Bahkan, dibandingkan negara-negara maju yang punya rasio utang di atas 100 persen, Indonesia terkesan konservatif. Tapi perbandingan ini sering luput dari konteks.

Negara seperti Jepang, misalnya, memang punya rasio utang lebih dari 200 persen. Tapi mereka punya struktur ekonomi mapan, basis pajak kuat, dan instrumen keuangan domestik yang solid. 

Sebagian besar utangnya juga dalam denominasi mata uang sendiri. Bandingkan dengan Indonesia, yang sebagian besar utangnya masih bergantung pada pembiayaan luar negeri dan pasar keuangan global yang rentan terhadap gejolak.

Lebih dari itu, pengelolaan utang bukan soal angka semata. Ini soal niat politik, efisiensi belanja, dan keberpihakan pada rakyat. Jika utang digunakan untuk membangun infrastruktur vital yang menunjang produktivitas ekonomi nasional seperti irigasi pertanian, pelabuhan logistik, atau layanan publik di daerah tertinggal, maka masyarakat masih bisa menerima. 

Tapi jika utang itu malah dipakai untuk membiayai megaproyek yang belum jelas manfaatnya, seperti Ibu Kota Nusantara atau kereta cepat yang melayani rute sempit, maka pertanyaan wajar muncul: utang ini sebenarnya untuk siapa?

Laporan AMRO menambahkan dimensi kekhawatiran lain. Indonesia disebut berisiko terjebak dalam middle-income trap posisi nanggung antara negara miskin dan negara maju. 

Ini adalah jebakan klasik negara berkembang: ekonomi tumbuh, tapi tidak cukup cepat untuk naik kelas karena tidak ditopang inovasi, produktivitas, dan tata kelola yang efisien. Jika dibiarkan, Indonesia bisa kehilangan momentum sebagai kekuatan ekonomi utama Asia Tenggara.

Harus diakui, membiayai pembangunan memang butuh utang. Tak ada negara modern yang tumbuh tanpa pinjaman. Namun, utang adalah alat, bukan tujuan. 

Ia harus dipakai dengan bijak, transparan, dan akuntabel. Harus ada strategi keluar exit strategy agar Indonesia tidak terjebak dalam spiral pinjaman yang menumpuk.

Sayangnya, tanda-tanda kedewasaan fiskal itu belum sepenuhnya terlihat. Belanja negara masih beraroma proyek politik. Transparansi anggaran kadang tertutup oleh kerumitan nomenklatur dan laporan keuangan yang sulit diakses publik. 

Sementara itu, reformasi pajak jalan di tempat. Target rasio pajak (tax ratio) di kisaran 9–10 persen masih jauh dari ideal. Bandingkan dengan negara-negara OECD yang bisa mencapai 30 persen.

Yang paling dirugikan dari semua ini adalah rakyat. Mereka yang membayar pajak, yang menanggung inflasi, dan yang akhirnya harus berhemat demi menambal lubang fiskal negara. 

Kesejahteraan yang dijanjikan dari pembangunan justru terasa makin jauh. Harga-harga naik, subsidi dicabut, dan layanan publik stagnan. Kontras dengan megahnya narasi kemajuan dari menara kekuasaan.

Tahun 2030 tinggal lima tahun lagi. Bukan sekadar angka, tapi sebuah batas waktu untuk membuktikan apakah Indonesia mampu mengelola keuangannya dengan bijak atau justru menapaki jalan Sri Lanka. 

Jalan menuju krisis tidak pernah instan. Ia dibangun oleh keputusan-keputusan yang keliru, oleh pembiaran atas kebijakan populis yang tak berkelanjutan.

Rakyat boleh jadi tidak menolak pembangunan. Tapi mereka berhak bertanya: “Apakah utang ini akan kembali pada kami dalam bentuk layanan yang lebih baik, akses kesehatan yang lebih murah, atau pendidikan yang lebih berkualitas?”

Kalau jawabannya masih kabur, maka keresahan publik bukan sekadar keluhan, tapi peringatan. Negara yang mengabaikan alarm ini, cepat atau lambat, akan membayar lebih mahal dari bunga utangnya.(*)

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Padang just now

Welcome to TIMES Padang

TIMES Padang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.