TIMES PADANG, PADANG – Bencana ekologis kembali melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh sejak 23 November 2025 bukan sekedar musibah tahunan akibat monsun Asia yang menguat tapi ini adalah jeritan bumi pertiwi yang semakin keras, tanda bahwa kita telah melampaui batas dan merusak ekosistem, terutama Pegunungan Bukit Barisan sebagai tulang punggung hidrologi wilayah barat Indonesia.
Di Sumatera Barat, sedikitnya 13 kabupaten/kota terendam banjir dan longsor serta hingga hari ini per tanggal 3 Desember 2025 ada 235 nyawa melayang, 260 orang masih belum ditemukan, ribuan warga mengungsi, dan kerugian materiil diperkirakan mencapai kurang lebih satu triliun rupiah. Angka-angka ini bukan lagi statistik biasa, melainkan bukti nyata bahwa “bencana alam” yang kita sebut-sebut selama ini sebenarnya adalah bencana akibat ulah manusia itu sendiri.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat luas hutan Indonesia tahun 2023 sekitar 125,9 juta hektare. Namun dalam tiga dekade terakhir, menurut Global Forest Watch 2024, Indonesia telah kehilangan lebih dari 24 juta hektare tutupan hutan primer, sebagian besar di Sumatera dan Kalimantan.
Di Sumatera Barat saja, deforestasi mencapai 1,2 juta hektare sejak tahun 2001, terutama akibat ekspansi perkebunan sawit, pertambangan emas tanpa izin, dan pembalakan liar yang masih marak. Akibatnya, fungsi hutan sebagai pengatur tata air hilang, resapan air tanah menyusut, erosi meningkat, dan saat hujan lebat tiba, air langsung mengalir ke pemukiman tanpa hambatan.
Pemerintah sering kali menjadikan “cuaca ekstrem” sebagai kambing hitam utama. Padahal Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sendiri telah berulang kali memperingatkan bahwa peningkatan intensitas kerusakan lingkungan akan memperparah dampak iklim.
Banjir bandang/galodo di Malalo, Padang Panjang, dan Koto Sani bukan semata karena curah hujan yang tinggi, tapi akibat tidak ada lagi hutan lindung di hulu yang mampu menahan laju air. Kemudian longsor terjadi di beberapa wilayah karena lereng-lereng yang seharusnya dilindungi justru dikonversi menjadi kebun sawit atau tambang galian C.
Lebih memilukan lagi dengan ketimpangan dalam proses pengambilan kebijakan seperti revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sumatera Barat 2023-2043 yang disahkan melalui Perda No. 3 Tahun 2023 nyaris tanpa partisipasi publik bermakna.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan berbagai organisasi masyarakat sipil mencatat bahwa dari 27 kali rapat pembahasan, hanya 3 kali melibatkan masyarakat dan itu pun bersifat seremonial. Hasilnya, kawasan lindung Bukit Barisan banyak yang dilepas menjadi kawasan budidaya dengan alasan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Izin-izin pertambangan dan perkebunan sawit baru terus bermunculan di zona rawan bencana, sementara masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan secara turun-temurun justru dikriminalisasi ketika mempertahankan wilayah kelola mereka.
Korporasi dan oligarki lokal mendapat karpet merah, sementara rakyat kecil menanggung akibatnya. Namun, setiap bencana terjadi seolah-olah mereka cuci tangan dan menjadi pahlawan di tengah bencana yang terjadi, padahal itu adalah konsekuensi akibat tindakan oligarki tersebut yang terus-menerus mengeruk hutan.
Sudah saatnya kita menghentikan narasi bahwa ini hanya akibat bencana alam, melainkan ini adalah bentuk krisis ekologis sekaligus krisis demokrasi dan keadilan akibat pemerintah kabupaten/kota, provinsi maupun negara gagal dalam mengambil keputusan yang harusnya berpihak kepada rakyat bukan kepada industri ektraktif yang tiap hari mengeruk keuntungan tapi ketika bencana terjadi mereka seolah cuci tangan akan hal tersebut.
Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat sipil sudah seharusnya menuntut pemerintah pusat terutama mengenai penetapan bencana nasional akan hal ini, kemudian menuntut pemerintah daerah agar merevisi RTRW Sumatera Barat dengan melibatkan partisipasi publik yang substantif, bukan sekadar formalitas, menghentikan semua izin baik itu izin baru maupun izin lama pertambangan dan perkebunan di kawasan lindung serta lereng Bukit Barisan, mengalokasikan anggaran pemulihan daerah aliran sungai (DAS) secara besar-besaran, termasuk reboisasi dengan jenis lokal oleh masyarakat adat dan lokal, serta melakukan moratorium pembukaan lahan baru hingga peta rawan bencana benar-benar menjadi acuan utama tata ruang.
Percayalah tanpa langkah-langkah tegas tersebut, bencana serupa akan terus berulang dengan skala yang semakin hari kian mengerikan. Monsun akan datang lagi tahun depan, tapi hutan yang hilang tidak akan kembali dalam waktu dekat.
Nyawa yang melayang tidak bisa diganti dengan bantuan sembako atau janji manis di televisi. Kita tidak lagi bicara soal pencegahan bencana, tapi soal bertahan hidup sebagai peradaban di atas pulau yang sedang murka.
Jika hari ini kita masih memilih diam dan membiarkan oligarki terus mengeruk bumi tanpa tanggung jawab, maka besok anak-cucu kita hanya akan mewarisi foto-foto hijau yang tersisa di buku sejarah, bukan hutan yang masih bisa mereka rasakan. Pulau Sumatera bukan sekadar tempat tinggal tapi ia adalah ibu yang sedang menangis dan sudah saatnya kita berhenti membuatnya menangis lebih keras lagi.
***
*) Oleh : Muhammad Soultan Joefrian, PBH LBH Padang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |