https://padang.times.co.id/
Opini

Indonesia Pasca COP30

Selasa, 02 Desember 2025 - 18:37
Indonesia Pasca COP30 Dr. Nofi Yendri Sudiar, M.Si., Dosen Fisika, Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs (13), dan Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang.

TIMES PADANG, PADANG – Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belem, Brasil, baru saja ditutup dengan perdebatan sengit yang melampaui batas waktu. Sementara dunia berjuang mempertahankan batas kenaikan suhu 1.5o, Indonesia kembali berdiri di panggung global memamerkan komitmen ambisius seperti Net Sink Sektor Kehutanan 2030 dan potensi Karbon Biru yang masif.

Namun, bagi publik domestik, retorika ini terasa timpang dan kontradiktif. Kegaduhan di COP30, di mana Indonesia sempat menerima sindiran "Fossil of the Day" karena membawa puluhan pelobi industri fosil, adalah simbol kegagalan kita: Gagal menyelaraskan ambisi iklim dengan kepentingan ekonomi domestik.

Kontribusi mitigasi terbesar Indonesia bersandar pada sektor kehutanan (FOLU). Target Net Sink 2030, di mana hutan diharapkan menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskan, adalah kunci. Sayangnya, janji ini adalah yang paling terancam oleh kesenjangan implementasi hak Masyarakat Adat.

Di Belem, kita berbicara tentang mempercepat pengakuan Hutan Adat sebagai solusi iklim. Sementara itu, realitas lapangan sangat lambat. Hingga 2025, luasan Hutan Adat yang diakui secara resmi baru mencapai kurang dari 400.000 hektare. Angka ini hanya remah-remah jika dibandingkan dengan potensi Wilayah Adat yang terpetakan seluas 22,8 juta hektare.

Lambatnya pengakuan ini bukan sekadar masalah birokrasi, melainkan keputusan politik. Setiap hari penundaan pengakuan hak, setiap hari pula wilayah adat terancam dicaplok oleh izin pertambangan, perkebunan, atau proyek strategis nasional (PSN). 

Masyarakat adat adalah penjaga hutan paling efektif. Kegagalan mengakui dan melindungi mereka secara masif sama dengan memastikan kegagalan target Net Sink 2030 Indonesia.

Lobi Fosil dan Ilusi Transisi Energi

Isu kedua yang merusak kredibilitas kita adalah Transisi Energi. Di satu sisi, kita menerima pendanaan besar untuk beralih dari batu bara (misalnya melalui skema Just Energy Transition Partnership). Di sisi lain, kehadiran delegasi yang didominasi oleh perwakilan energi kotor mengirimkan pesan yang ambigu.

Jika Indonesia serius pada 1,5o, kita harus berani menetapkan tanggal akhir yang tegas untuk penggunaan batu bara, menghentikan pembangunan pembangkit listrik baru, dan segera memprioritaskan energi terbarukan. 

Membawa lobi fosil ke konferensi iklim adalah bentuk ketidakberanian politik untuk melepaskan diri dari ketergantungan energi kotor, yang merupakan penyumbang emisi terbesar secara global.

Karbon Biru (mangrove dan lamun) adalah potensi unik Indonesia yang "dijual" di COP30. Ekosistem ini menyimpan karbon hingga lima kali lipat lebih efektif dari hutan darat. Namun, Karbon Biru yang sukses di tingkat desa (seperti proyek percontohan) harus diuji di skala nasional.

Ancaman konversi mangrove menjadi tambak intensif dan polusi industri masih masif. Konservasi Karbon Biru akan sia-sia jika tidak disertai penegakan hukum yang keras terhadap perusak ekosistem pesisir. 

Lebih dari itu, skema perdagangan karbon yang dihasilkan wajib memastikan bahwa manfaat finansial mengalir adil kepada masyarakat pesisir, bukan hanya kepada korporasi atau broker karbon. Jika tidak, Karbon Biru hanya akan menjadi retorika cantik yang rapuh.

COP30 telah usai. Kini saatnya beralih dari panggung diplomasi ke aksi domestik yang berani: Pertama, Sahkan UU Masyarakat Adat: Ini adalah kunci utama untuk menyelamatkan hutan kita dan menguatkan FOLU Net Sink 2030. Perlindungan hak adalah mitigasi iklim terbaik.

Kedua, Tetapkan Peta Jalan Fosil: Tunjukkan komitmen Transisi Energi yang tidak bisa ditawar, dengan secara bertahap menghapus subsidi dan izin baru untuk energi fosil, terlepas dari tekanan lobi.

Ketiga, Tutup Kesenjangan Izin: Pemerintah harus menyinkronkan izin investasi dengan peta kawasan konservasi dan wilayah adat, menghentikan konflik lahan yang kontraproduktif terhadap janji iklim kita.

Kredibilitas Indonesia di mata dunia tidak diukur dari pidato di Belem, tetapi dari keberanian politik kita untuk memprioritaskan keadilan sosial dan ekologis di atas kepentingan ekonomi jangka pendek. Hanya dengan menambal lubang kontradiksi ini, target 1,5o dapat dijaga agar tetap "hidup" bagi Indonesia dan dunia.

***

*) Oleh : Dr. Nofi Yendri Sudiar, M.Si., Dosen Fisika, Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs (13), dan Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Padang just now

Welcome to TIMES Padang

TIMES Padang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.